Palu, Sulteng (ANTARA News) - Suasana Kota Banggai yang saat ini masih menjadi ibukota Kabupaten Banggai Kepulauan (Bangkep) di ujung timur Provinsi Sulawesi Tengah (Sulteng) hingga Rabu sore semakin mencekam. Ribuan massa rakyat dari berbagai penjuru kelurahan dan desa terus berdatangan dan mengepung kantor Polsek setempat, menyusulnya tewasnya seorang warga sipil akibat dianiaya petugas saat terjadi bentrok fisik antara pasukan polisi bersenjata lengkap dengan massa rakyat yang menggunakan batu pada Rabu pagi. "Saya sekarang tengah berusaha mengungsikan anak dan istri saya ke Adean (desa di pinggiran selatan Kota Banggai) untuk mencegah terjadinya hal-hal buruk yang tidak diinginkan," kata Taufik, warga Kelurahan Lompio di Kecamatan Banggai. Ia menjelaskan, saat ini ribuan massa rakyat dari penjuru wilayah Banggai terus berdatangan dan mengepung Mapolsek setempat. Empat penjuru jalan sudah dipadati massa dan terus mengangsek mendekat dan melakukan pelemparan batu ke Kantor Polsek dan asrama polisi. "Bunyi rentetan senjata api dari arah Mapolsek Banggai pun tak terelakkan, dan saat ini satu lagi warga sipil terkena peluru senjata api dan dilarikan ke RSU Banggai untuk mendapatkan perawatan," tuturnya melalui telepon genggam. Bahkan ketika wartawan Kantor Berita ANTARA Biro Palu menerima telepon dari Banggai, sempat terdengar bunyi letusan senjata api berulang-ulang. Bentrok fisik antara massa rakyat dengan aparat kepolisian di kota Banggai ini dipicu oleh masuknya puluhan pasukan polisi kiriman dari Luwuk (ibukota Kabupaten Banggai) pada Rabu pagi yang ditugaskan untuk membuka semua kantor milik Pemkab Bangkep yang "disegel" rakyat. Masyarakat setempat tak menghendaki adanya pengiriman pasukan polisi di Banggai dalam jumlah besar, sebab mereka berharap penyelesaian masalah yang mereka hadapi tidak melalui pendekatan keamanan tetapi melalui pendekatan sosial-politik. "Kami hanya minta pemindahan ibukota Kabupaten Bangkep (dari Banggai ke Salakan) tidak merugikan rakyat di sini," kata Saiful Bahri, warga Banggai lainnya.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007