Jakarta (ANTARA News) - Mahkamah Agung (MA) meragukan hasil survei Transparansi Internasional Indonesia (TII) yang menyatakan seratus persen praktik suap di lembaga peradilan disebabkan oleh permintaan dari para pejabat peradilan. "Saya ragu para responden itu mengatakan yang sejujurnya. Responden yang dipakai dalam survei itu kan berasal dari kalangan pengusaha. Apa benar setiap pengusaha yang berperkara itu dimintai uang," kata Jurubicara MA, Djoko Sarwoko, di Gedung MA, Jakarta, Rabu. Menurut dia, TII harus menunjukkan bukti yang kongkret atas hasil survei yang dilakukan terhadap 1.760 kalangan pengusaha di 32 Kabupaten/Kota di Indonesia pada 2006 itu. "Tidak hanya TII, kalau masyarakat juga punya bukti bahwa mereka dimintai uang oleh aparat pengadilan selama berperkara, silakan laporkan ke MA," katanya. Djoko menambahkan, MA tidak akan mengeluarkan sikap resmi untuk menanggapi hasil survei TII itu. "Biarkan saja. Itu kan pendapat mereka yang akurasinya harus dibuktikan lagi," ujarnya. Sebaliknya, jika hasil survei itu terbukti benar, lanjut dia, MA akan menjadikannya sebagai bahan masukan untuk perbaikan. Hasil survei Transparansi Internasional Indonesia (TII) terhadap indeks pelayanan publik di Indonesia pada 2006 menunjukkan seratus persen praktik suap di lembaga peradilan bukan merupakan inisiatif dari para pencari keadilan, namun merupakan permintaan dari lembaga peradilan. Oleh kalangan pengusaha, pada 2006 pengadilan masih dipersepsi sebagai institusi publik yang terkorup. Selain pengadilan, institusi publik yang banyak meminta suap adalah pelayanan bea cukai, imigrasi, DPRD, serta Badan Pertanahan Nasional (BPN). Peradilan berada pada posisi terbawah sebagai institusi yang dipersepsi terkorup dengan angka indeks 4,29, sedangkan angka tertinggi diperoleh pelayanan telepon (telkom) dengan angka indeks 6,46.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007