Bogor (ANTARA News) - Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) merekomendasikan agar persoalan pupuk bersubsidi yang sulit diakses oleh masyarakat dilakukan dari hulu dengan membenahi regulasi yang ada.
"Perlu pembenahan dari hulu, regulasi harus dibenahi. Dari segi definisi petani saja sudah tidak pas, ada penyebutan korporasi. Kalau definisi begitu, menyerahkan ke korporasi tidak salah," kata anggota IV BPK RI, Rizal Djalil, dalam seminar bertajuk "subsidi pupuk masalah dan solusi (pembahasan hasil audit BPK RI) di Kampus IPB, Dramaga, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, Kamis.
Rizal mengatakan, perbaikan persoalan pupuk bersubsidi tidak cukup hanya menindak pelaku pembuatan pupuk oplosan, tetapi harus dimulai dari hulu yakni membenahi regulasi yang ada.
Dari hasil audit BPK RI, banyak regulasi terkait pupuk bersubsidi tetapi saling bertabrakan antara keputusan menteri dengan kepmen lainnya. Seperti definisi petani penerima pupuk subsidi yang tertuang dalam Undang-Undang No 16/2006 tentang sistem penyuluhan pertanian, perikanan dan kehutanan.
"Ini salah satu regulasi kontroversial, perlu ada kontrol regulasi terkait persoalan ini. Karena ini persoalan serius, jika 30 persen subsidi pupuk pergi ke korporasi, petani tidak akan dapat apa-apa," katanya.
Audit BPK lainnya, lanjut dia, ditemukan tujuan pemberian pupuk subsidi yang tidak jelas, karena sasaran penerima subsidi tidak didefinisikan secara lugas.
Dikatakannya, penyaluran pupuk bersubsidi, tidak tepat jumlah, tidak tepat harga, tidak tepat tempat, tidak tepat waktu dan tidak tepat sasaran. Bahkan penyalurannya mendahului alokasinya, melebihi RDKK, penyaluran di atas HET dan permasalahan lain di tingkat pengecer.
"Begitu banyaknya persoalan ini, sehingga banyak penerima pupuk subsidi yang terlambat, bahkan sampai satu bulan," katanya.
Rizal menyatakan, terjadi kelemahan pengawasan dalam penyaluran pupuk bersubsidi. Walaupun lembaga pengawasan sudah ada, tetapi belum jelas mekanisme pengawas, dan struktur pelaporannya.
"Sistem pengawas juga harus diperbaiki, kalau kita tidak mau persoalan pupu terus menghambat petani. Seperti di Sumatera, kasus pupuk subsidi menyebrang ke negara tetangga," katanya.
Mantan Ketua BPK ini menegaskan, hasil audit yang dilakukannya sebagai gambaran tentang pupuk bersubsidi yang terus terjadi dari tahun ke tahun, sehingga perlu pembenahan agar persoalan ketahanan pangan dapat terpenuhi.
"Ada permasalahan dalam distribusi pupuk bersubsidi, BPK mengungkapkan apa adanya supaya dilakukan perbaikan. Perbaik tidak cukup sebatas parsial saja, harus dimulai dari hulu," katanya.
Sementara itu, Rektor IPB Prof Herry Suhardiyanto menambahkan, kebutuhan pupuk sangat penting bagi petani, namun ketersediaannya yang langka menjadi fenomena yang terus berulang setiap tahun, ditambah harga HET yang tinggi.
Persoalan lainnya, ekspor pupuk ilegal baik melalui produsen pupuk itu sendiri maupun melalui penyelundupan sering dengan peningkatan margin antara pupuk urea di pasar dunia dengan harga pupuk di pasar domestik.
"Hal yang lebih memprihatinkan lagi, pupuk urea yang diekspor secara ilegal tersebut adalah pupuk subsidi yang merupakan hak petani yang notabenenya adalah kelompok masyarakat miskin," katanya.
Seminar pupuk masalah dan solusinya diselenggarakan oleh BPK RI bekerja sama dengan IPB dalam rangka mengkaji secara akademik hasil audit tersebut, yang akan menjadi masukan bagi BPK dalam mengeluarkan rekomendasi kepada pemerintah dalam mencari solusi PESOALAN pupuk bersubsidi.
Dalam dalam seminar tersebut Gubernur Sulawesi Selatan, Syahrul Yasin Limpo, Wakil Ketua Komisi IB DPR RI, Viva Yoga Mauladi. Juga hadir pembahas perwakilan dari Kementerian Koperasi dan UMKM, Dirjen Sarana dan Prasarana Pertanian, Kementerian Pertanian serta Wakil Rektor IPB bidang kajian akademis Prof Hermanto Siregar.
Salah satu usulan menarik yang disampaikan dalam seminar tersebut adalah penghapusan pupuk bersubsidi, dengan mengalokasinya secara output, atau langsung diterima oleh petani.
Pewarta: Laily Rahmawati
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016