Jakarta (ANTARA News) - Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat menolak permohonan penetapan pembayaran kompensasi yang diajukan oleh 13 korban peristiwa pelanggaran HAM Tanjung Priok yang tidak mengikuti proses islah (perdamaian).
Hakim tunggal Martini Mardja, pada sidang di PN Jakarta Pusat, Rabu, menyatakan permohonan para pemohon tidak beralasan, karena putusan PN Jakarta Pusat tertanggal 20 Agustus 2004 yang dijadikan acuan oleh para pemohon sudah dibatalkan oleh Mahkamah Agung (MA).
Dalam pertimbangannya, hakim menyatakan bahwa putusan pengadilan baru dapat dilaksanakan setelah putusan tersebut berkekuatan hukum tetap (incracht), yaitu apabila kedua pihak tidak mengajukan banding atau telah mencapai tahap kasasi di MA.
"Setelah mempelajari bukti-bukti yang diajukan, ternyata putusan PN Jakarta Pusat bernomor 01/PID.HAM.ADHOC/2003 dibanding ke Pengadilan Tinggi DKI Jakarta dan juga dikasasi," kata Martini.
Putusan PT DKI Jakarta dan putusan kasasi yang dikeluarkan oleh MA, lanjut Martini, ternyata membatalkan putusan PN Jakarta Pusat yang memerintahkan agar 13 korban Tanjung Priok memperoleh kompensasi.
"MA mengadili sendiri dan , pengadilan menetapkan permohonan para pemohon tidak beralasan dan karena itu harus ditolak," kata Martini.
Hakim hanya mendasarkan putusannya pada keputusan PN Jakarta Pusat, PT DKI Jakarta, dan MA dalam perkara dengan terdakwa Mantan Danru III Yon Arhanudse-06, Kapten Sutrisno Mascung.
Sedangkan bukti-bukti lain seperti konvenan hukum HAM internasional dikesampingkan oleh hakim karena dinilai tidak relevan.
Dalam permohonannya, 13 korban peristiwa pelanggaran HAM Tanjung Priok meminta Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Pusat untuk mengeluarkan penetapan pembayaran kompensasi yang pernah diputus oleh Pengadilan ad hoc HAM pada 2004.
Putusan pengadilan ad hoc HAM pada PN Jakarta pusat dalam perkara pelanggaran HAM Tanjung Priok dengan terdakwa Sutrisno Mascung pada 20 Agustus 2004 memutuskan pemerintah harus membayar kompensasi sebesar Rp1,015 miliar kepada 13 korban peristiwa yang tidak mengikuti islah.
Dalam putusan pengadilan tingkat pertama itu, Sutrisno dijatuhi hukuman tiga tahun penjara.
Namun, dalam putusan tingkat banding dan kasasi, Sutrisno dibebaskan dari segala dakwaan.
Putusan kasasi yang dikeluarkan Mahkamah Agung (MA) pada 28 Februari 2006 itu membatalkan putusan tingkat PN dan tingkat banding serta menyatakan tuntutan Jaksa Penuntut Umum (JPU) tidak dapat diterima.
Setelah hakim membacakan putusan, sejumlah korban peristiwa Tanjung Priok tidak dapat menahan emosinya.
Raharja, yang terlihat tekun menyimak pembacaan putusan sejak awal persidangan, langsung berteriak "Allahu Akbar" dan berkata bahwa pengadilan tidak berhati nurani.
"Saya sudah katakan sejak awal, bahwa pengadilan ini dagelan. Hakim takut dengan militer," ujarnya.
Sedangkan Aminatun, yang sempat mengalami pelecehan seksual selama menjalani penahanan pada 1984, langsung berteriak "hakim penakut."
Meski merasa kecewa dengan putusan itu, para korban Tanjung Priok sepakat untuk terus berjuang dan mencari celah hukum agar pemerintah memberikan ganti rugi atas kerugian fisik maupun mental yang mereka alami akibat peristiwa tersebut.
Kuasa hukum para korban dari Kontras, Haris Azhar, mengatakan akan mengajukan kasasi atas putusan hakim PN Jakarta Pusat itu.
"Tidak menutup kemungkinan kita juga akan mengajukan gugatan secara perdata kepada pemerintah karena melakukan perbuatan melawan hukum," ujarnya.
Haris mempersoalkan putusan hakim yang hanya berdasar pada persoalan legalistik tanpa mempertimbangkan rasa keadilan yang seharusnya diperoleh para korban. (*)
Copyright © ANTARA 2007