...lebih susah bikin cerpen ketimbang bikin novel."

Jakarta (ANTARA News) - Adhitya Mulya pertama kali dikenal sebagai penulis lewat novel komedi "Jomblo" terbitan 2003. Novel perdananya itu kemudian diadaptasi menjadi film sukses dengan judul sama yang dibintangi Ringgo Agus, Christian Sugiono, Dennis Adhiswara. dan Rizky Hanggono.

Pria kelahiran 3 Desember 1977 juga menulis buku "Gege Mengejar Cinta", "Catatan Mahasiswa Gila" dan "Mencoba Sukses". Bukunya "Sabtu Bersama Bapak" (2013) tengah digarap untuk versi layar lebar di bawah arahan sutradara Monty Tiwa.

Menulis bukan satu-satunya fokus pekerjaan Adhitya Mulya karena dia adalah karyawan perusahaan logistik. Berikut petikan bincang-bincangnya dengan ANTARA News :

Karakternya pria di buku Anda biasanya humoris, apakah mencerminkan karakter sendiri?
Sebenarnya iya, kalau ditarik benang merah pasti protagonis-protagonisnya itu nggak cakep, garing, nggak bisa ngomong sama cewek. Di "Jomblo" Agus seperti itu, di "Sabtu Bersama Bapak" ada Cakra, di "Gege Mengejar Cinta" ada karakter Gege Itu mungkin karena saya memang tahunya manusia seperti itu.

Bagaimana membagi waktu antara menulis dan pekerjaan kantor?
Menulis bisa dibilang sebatas karya seni saja yang tidak bisa di-deadlinekan. Ada permintaan skenario serial TV, film itu saya tolak karena saya sudah capek kerja. Kalau di-deadline, gue-nya suka jadi garing. Bikin komedi itu prosesnya nulis, diam dulu, lalu tulis ulang. Kalau ada deadline, kebebasan itu hilang.

Kapan waktu untuk menulis?
Biasanya malam, habis anak-anak tidur baru saya nulis karena saya nggak bisa ada distraksi, harus sepi. Tapi jadinya kurang tidur dan karena kurang tidur jadi botak. (tersenyum)

Buku yang paling lama ditulis?
Proses saya bikin buku antara setahun dua tahun. Skrip juga setahun. Targetnya minimal tiap dua tahun terbit satu buku. Sebenarnya saya lagi nulis nonfiksi, sudah selesai tinggal tahap editing. Buku tentang parenting, melihat dari "Sabtu Bersama Bapak" banyak yang bilang 'ini novel parenting' dan 'banyak nilai yang bisa dipelajari'.

Makin lama tema bukunya semakin dewasa?
Semenjak nulis skenario film Test Pack (diangkat dari novel karya sang istri, Ninit Yunita) saya menyadari bahwa ternyata saya bisa ya bikin orang nangis. Lalu ada "Sabtu Bersama Bapak" selain cerpen parenting di blog, untuk ngetes benar nggak sih saya punya kemampuan untuk bikin orang nangis? Sebenarnya bukan temanya makin dewasa, tapi makin mungkin lebih ke drama. Saya juga nggak pengen komedi saja, saya ingin bisa menulis drama.

Tertarik genre lain? Horor misalnya?
Kalau horor nggak. Mungkin kalau saya punya sixth sense bisa. Saya nggak bisa ngomong tentang pocong kalau belum lihat pocong. Ada kok penulis yang ditugasin nulis film horor, dia minta dibukain ke paranormal agar dia tahu seremnya kayak apa, nelangsanya kayak apa tiap kali gue nengok ada makhluk gaib. Nanti pas sudah selesai skrip sama dia minta dinormalin lagi (penglihatan gaib). Penulis tuh kaya gitu memang, harus menyelami.

Apakah inspirasi menulis juga diambil dari kehidupan sehari-hari?
Pure imajinasi. Saya bukan tipe orang yang ngeburai isi perut ke novel.Kalau itu sih bukan kerja kreatif dong, namanya bukan proses kreatif, tapi curhat.

Ada rencana kolaborasi menulis bareng lagi?
Belum, sudah nggak lagi, sekarang nggak karena terlalu sibuk.(Bapak dari dua anak ini juga pernah berkolaborasi dengan Ninit Yunita, Alaya Setya, dan Iman Hidajat, dalam novel "Travelers' Tale, Belok Kanan: Barcelona!")

Target ke depan?
Pengen bikin kumpulan cerita pendek, karena bagi saya lebih susah bikin cerpen ketimbang bikin novel. Lo harus bercerita sesuatu dalam tiga halaman bukan tiga ratus halaman. Tiga ratus halaman sih gampang itu. Paling susah lagi bikin lagu, dalam 16 bait harus bercerita, uh susah. Saya cuma sekali bikin lagu, pas di "Jomblo" lagu Dewi Malam. Sebenarnya itu puisi, lalu dijadikan lagu.

Pesan untuk teman-teman yang mau jadi penulis?
Banyak latihan, coba bikin blog, latihan nulis di situ, dari situ menemukan bentuk tulisannya sendiri. Segala sesuatu tidak mungkin terjadi secara instan. Pasti harus ada proses, kalau sekali nulis novel ditolak, jangan ngambek. Enam belas kali ditolak baru boleh ngambek. "Jomblo" juga sempat ditolak terus, tapi saya nggak menyerah.

Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016