Tingkat pertumbuhan turun, arus modal telah berbalik, dan prospek jangka menengah telah memburuk tajam."
Washington (ANTARA News) - Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional Christine Lagarde pada Kamis memperingatkan bahwa pelambatan di negara-negara berkembang bisa menyebabkan meningkatnya ketidaksetaraan dalam ekonomi global.
Segera setelah pendinginan ekonomi Tiongkok dan penurunan tajam harga-harga komoditas, negara-negara berkembang akan melihat pertumbuhan yang goyah dan menghadapi "kenyataan pahit baru," kata Lagarde dalam sebuah pidato di Universitas Maryland, lapor AFP.
"Tingkat pertumbuhan turun, arus modal telah berbalik, dan prospek jangka menengah telah memburuk tajam," Ketua IMF mengatakan kepada forum, menurut teks yang sudah disiapkan untuk pidatonya.
Tiongkok, ekonomi terbesar kedua di dunia, mencatat pertumbuhan terlemah dalam seperempat abad pada 2015, dan Brazil serta Rusia berada dalam resesi.
IMF sekarang memproyeksikan bahwa tingkat pendapatan negara-negara berkembang dan negara bertumbuh pesat akan konvergen ke tingkat ekonomi maju pada kurang dari dua pertiga kecepatan yang diperkirakan satu dekade lalu, kata Lagarde.
"Ini berarti bahwa jutaan orang miskin akan menemukan mereka lebih sulit untuk maju. Dan anggota kelas menengah baru menemukan harapan mereka tak terpenuhi," katanya.
Konsekuensi dari pelambatan global yang saling berhubungan tidak akan hanya ekonomi, dia menunjukkan: "Ini juga disertai dengan risiko kenaikan ketidaksetaraan, proteksionisme, dan populisme."
Untuk mengatasi pelemahan global yang terus meningkat, ketua IMF merekomendasikan bahwa negara-negara berkembang, terutama mereka yang mengekspor komoditas, meningkatkan kebijakan belanja mereka dan meningkatkan pendapatan non-komoditas guna membuat penyesuaian anggaran mereka "kurang menyakitkan."
Dan untuk meningkatkan pertumbuhan, Lagarde meminta negara maju dan negara berkembang untuk meningkatkan upaya-upaya membuka sistem perdagangan global "serta mendorong integrasi perdagangan melalui perjanjian regional dan multilateral."
Kamis pagi, kesepakatan perdagangan terbesar dalam sejarah ditandatangani di Selandia Baru, 12 negara Rim Pasifik dalam Kemitraan Trans Pasifik yang bertujuan untuk memangkas tarif dan hambatan perdagangan bagi 40 persen dari ekonomi global.
Inisiatif yang dipimpin AS, tidak termasuk Tiongkok, membutuhkan ratifikasi oleh negara-negara anggota sebelum berlaku efektif.
(Uu.A026)
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016