Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah sebaiknya jangan membayar klaim ganti rugi Karaha Bodas Company (KBC) karena ada dugaan klaim ganti rugi senilai 320 juta dolar AS itu berindikasi KKN. Demikian disampaikan Anggota Dewan Perwakilan Daerah (DPD) RI yang juga Koordinator Komite Nasional penyelamat Industri Strategis (Konpis) Marwan Batubara di Jakarta, Selasa. Dalam masa menunggu keputusan pengadilan Cayman Islands pada Maret 2007, Dirut Pertamina Ari Sumarno menyatakan, telah menyiapkan dana untuk membayar klaim ganti rugi yang dimenangkan KBC melalui putusan majelis arbritrae internasional Uncitral. Konpis menolak rencana pemerintah membayar klaim ganti rugi sekitar Rp2,9 triliun proyek pembangunan pembangkit listrik tenaga panas bumi KBC tersebut. Jika dugaan KKN proyek Karaha Bodas ini diusut tuntas, keputusan majelis arbritrase internasional dapat ditunda, bahkan dianulir keputusannya. "Para pelaku korupsi di AS terikat dengan Foreign Corrupt Practices Act (FCPA) yang memberi sanksi berat jika perusahaan asal AS terbukti melakukan korupsi saat menjalankan proyek di luar negeri," kata Marwan. Karena itu, Konpis mendesak pemerintah mengusut indikasi KKN proyek Karaha Bodas. Menurut Konpis, minimal ada empat alasan pokok untuk menolak eksekusi klaim ganti rugi yang diajukan KBC. Pertama, kontrak proyek Karaha bodas disusun penuh rekayasa dan sarat KKN, antara lain penggelembungan nilai proyek, harga jual listrik dan biaya operasi proyek. Kedua, pemberhentian proyek oleh pemerintah melalui Keppres 5 Januari 1998 yang menjadi dasar gugatan oleh KBC, dilakukan karena kondisi darurat akibat terjadinya krisis moneter di Indonesia. Klaim atas pelanggaran persyaratan kontrak dalam kondisi darurat tidak layak diberlakukan sebagaimana dalam kondisi normal. Ketiga, KBC melakukan manipulasi pajak dan tidak membayar akumulasi pajak sejak 1998 sebesar Rp30 miliar dan 254 juta dolar AS. Ketiga, KBC telah menerima klaim gati rugi asuransi sebesar 75 juta dolar AS dari Berry Falmer & Lyle Ltd`, Broker London, ganti rugi diperoleh karena kondisi force majeur akibat krisis moneter yang terjadi di Indonesia. Dengan demikian, berdasarkan asas subordinasi, KBC tidak lagi berhak meneruskan gugatan karena haknya telah beralih ke perusahaan asuransi. Terkait dugaan penggelembungan biaya proyek, BPKP telah mengungkap penggelembungan dana yang merugikan negara senilai 43,1 juta dlar AS. Di samping itu, KBC tidak mengungkap nilai investasi secara benar. KBC mengklaim ganti rugi investasi kepada Indonesia sebesar 111,1 juta dolar AS, padahal berdasarkan audit konsultan independen ELC Electroconsult asal Italia, investasi KBC pada saat proyek dihentikan tidak lebih dari 50 juta. Konpis menduga negara dirugikan 61,1 juta dolar AS Terkait harga jual listrik, diduga telah terjadi mark up dalam penetapannya dari kesepakatan KBC-Pertamina dengan PLN senilai 71,58 dolar AS/MWh menjadi 72,98 dolar AS/MWh.(*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007