Jakarta (ANTARA News) - Anggota Komisi VII DPR dari fraksi Partai Hanura Dewie Yasin Limpo segera disidang dalam perkara dugaan tindak pidana korupsi penerimaan hadiah terkait usulan penganggaran proyek pembangunan infrastruktur Energi Terbarukan di Deiyai, Papua.
"Iya sudah P21 (berkas lengkap), sudah pelimpahan," kata Dewie seusai menjalani pemeriksaan di gedung KPK Jakarta, Selasa.
Selain Dewie, berkas penyidikan dua orang stafnya di DPR yaitu Bambang Wahyuhadi dan Rinelda Bandoso sudah dinyatakan lengkap. Artinya jaksa penuntut umum KPK punya waktu 14 hari untuk menyusun surat dakwaan sebelum dilimpahkan ke pengadilan.
"Berkasnya beda, beda dengan Rinelda dan Bambang," tambah Dewie.
Dalam perkara ini, Dewie diduga menerima 177.700 dolar Singapura (sekitar Rp1,7 miliar) dari Kepala Dinas ESDM kabupaten Deiyai, Papua, Irenius Adii dan pemilik PT Abdi Bumi Cendrawasih Setiady Jusuf agar Dewie mengupayakan anggaran dari Pemerintah Pusat untuk Pembangunan pembangkit listrik di Deiyai.
Jumlah tersebut adalah separuh dari "commitment fee" sebesar 7 persen dari total anggaran sebesar Rp50 miliar.
"Iya saya sudah siap," kata Dewie mengungkapkan kesiapannya menjalani sidang.
Asisten administrasi Dewie, Rinelda Bandoso menjelaskan bahwa proposal yang diajukan Irenius adalah untuk membangun Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS).
"Dia (Irenius) minta PLTS, dan diserahkan ke Kementerian ESDM, tapi akan ditender di Kementerian BUMN," ungkap Rinelda.
BUMN yang dimaksud Rinelda adalah Perusahaan Listrik Negara (PLN), dalam perkara ini KPK juga sudah memeriksa Dirut PLN Sofyan Basir pada 25 Januari 2016.
Dalam surat dakwaan Irenius dan Setiady, awalnya Dewie meminta dana pengawalan sebesar 10 persen dari anggaran yang diusulkan untuk pengurusan anggaran pembangkit listrik Kabupaten Deiyai.
Dewie pun sempat akan membicarakan dengan anggota badan anggaran Komisi VII DPR sekaligus menyampaikan mekanisme penganggaran melalui dana aspirasi sebesar Rp50 miliar sehingga dana pengawalan yang harus disiapkan adalah Rp2 miliar.
Namun Setiady hanya bersedia memberikan dana pengawalan sebesar 7 persen dari anggaran yang diusulkan dengan syarat bila Setiady gagal menjadi pelaksana proyek maka uang harus dikembalikan. Atas kesepakatan itu Dewie meminta Setiady menyerahkan setengah dari dana pengawalan sebelum pengesahan ABPN 2016 melalui Rinelda.
Uang pun diserahkan pada 20 Oktober 2015 di Kelapa Gading, Jakarta Utara melalui asisten Dewie, Rinelda Bandaso dari Setiady yang disaksikan Irenius. Namun setelah penyerahan uang, KPK menangkap ketiganya.
Proyek itu merupakan bagian dari proyek unggulan pemerintah untuk membangun pembangkit listrik 35 ribu megawatt (MW) yang diluncurkan pada 4 Mei lalu.
Atas perbuatan tersebut, Dewie Yasin Limpo, asistennya Rinelda Bandaso dan satu staf Dewie lain bernama Bambang Wahyuhadi disangkakan pasal 12 huruf a atau b atau pasal 11 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Jo pasal 64 ayat 1 KUHP dengan hukuman maksimal 20 tahun penjara dan denda paling banyak Rp1 miliar.
Sedangkan Irenius dan Setiady didakwa berdasarkan pasal 5 ayat 1 huruf a atau b atau pasal 13 UU No 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU No 20 tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dengan ancaman pidana paling singkat 1 tahun dan paling lama 5 tahun ditambah denda paling sedikit Rp50 juta dan paling banyak Rp250 juta.
Pewarta: Desca Lidya Natalia
Editor: Tasrief Tarmizi
Copyright © ANTARA 2016