Jakarta (ANTARA News) - Sejumlah pimpinan di MPR RI memiliki gagasan untuk membentuk semacam sekolah atau lembaga pendidikan konstitusi dan museum konstitusi di lingkungan MPR.
Hal ini merupakan salah satu poin yang dihasilkan dalam Rapat Koordinasi antara Pimpinan MPR bersama sejumlah lembaga di MPR di Bali, Sabtu (30/1), sebut keterangan tertulis MPR, yang dikutip Minggu.
Dalam rakor yang dibuka Wakil Ketua MPR Oesman Sapta didampingi Hidayat Nur Wahid itu para pimpinan MPR juga sepakat meningkatkan sosialisasi Empar Pilar Kebangsaan yakni Pancasila, UUD NRI Tahun 1945, NKRI dan Bhinneka Tunggal Ika.
Hadir dalam rapat itu, Pimpinan Badan Sosialisasi MPR antara lain yakni Ahmad Basarah, Edhy Prabowo, Alimin Abdullah, Prof, Bahtiar Aly.
Kemudian, Pimpinan Badan Pengkajian MPR Rambe Kamarulzaman, TB. Soenmandjaja, Martin Hutabarat. Selain itu, ada pula Pimpinan Badan Penganggaran MPR, Idris laena, Guntur Sasono, Suarifuddin Suding, Muh. Asri Anas dan Pimpinan Lembaga Pengkajian MPR Ahmad Farhan Hamid serta Prof Sudjarto.
Rakor juga membahas segala permasalahan seputar evaluasi program-program MPR RI, kinerja Sekretariat Jenderal MPR RI dan rencana program MPR tahun 2016 beserta penganggarannya.
Ketua Badan Sosialisasi MPR, Ahmad Basarah mengatakan, rapat koordinasi ini bertujuan untuk mencermati dan merespon perkembangan kebangsaan dan ketatanegaraan bangsa terkait dengan ekspektasi masyarakat luas terhadap eksistensi MPR.
Menurut sebagian kalangan, lanjut dia, MPR dapat segera mengambil posisi sebagai lembaga negara yang memiliki kewenangan tertinggi.
Sementara itu, Wakil Ketua MPR Oesman Sapta mengungkapkan isu aktual yang dibahas dalam rapat koordinasi salah satunya ialah memaksimalkan fungsi dan peran badan dan lembaga pengkajian MPR dalam sistem ketatanegaraan Indonesia secara intensif sesuai amanat Pasal 5 huruf c UU MD3.
Dalam pasal itu disebutkan, badan pengkajian dan lembaga pengkajian akan fokus pada tindak lanjut arus besar aspirasi masyarakat terkait soal amandemen UUD yang terbatas pada eksistensi lembaga MPR. Selain itu, perlunya dihidupkan kembali sistem kebijakan pembangunan nasional jangka pendek, menengah dan panjang.
“Kenapa hal itu sangat perlu, supaya negara kita tidak setiap ganti presiden ganti pula sistemnya sehingga, misalnya sekarang kebijakan pembangunan presiden adalah tol laut, nanti ganti presiden kebijakan pembangunan berubah akan membuat tol udara ini hanya contoh saja," kata dia.
"Jadi sistem dan kebijakan pembangunan presiden tidak ada kontinuitas, tidak nyambung. Nah ini akan kita ubah,” tambah Oesman yang biasa disapa OSO itu.
Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2016