"Usulan untuk menjadikan desk antiteror sebagai badan, akan kami pertimbangkan dan tindaklanjuti," ujar Menko Polhukam.
Jakarta (ANTARA News) - Komisi I DPR mendesak pemerintah untuk segera meningkatkan status Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan, menjadi badan antiteror mengingat komplesitas dalam penanganan terorisme. "Ini sudah sejak lama kami mintakan kepada pemerintah, agar segera membentuk badan antiteror," kata Ketua Komisi I DPR Theo L Sambuaga pada rapat kerja jajaran Kementerian Koordinator Bidang Polhukam dengan Komisi I DPR, di Jakarta Senin. Ia mengatakan, permasalahan terorisme tidak semata merupakan persoalan keamanan, melainkan juga menyangkut masalah kesejahteraan, kemiskinan dan pengangguran. Karena itu, perlu suatu badan untuk dapat menangani terorisme secara lebih komprehensif. "Jadi, pemerintah hendaknya segera meningkatkan status desk antiteror menjadi badan antiteror," katanya. Menanggapi itu, Menko Politik, Hukum dan Keamanan (Polhukam) Widodo Adi Sutjipto mengatakan, pihaknya akan menindaklanjuti desakan kepada pemerintah itu karena permasalahan terorisme adalah sesuatu yang nyata dan harus ditangani secara serius. "Persoalan terorisme adalah persoalan yang nyata dan realitasnya memang memerlukan penanganan yang sangat serius dari semua pihak, karena itu kami akan segera menindaklanjuti hal itu, kata Menko Polhukam. Ia mengatakan, salah satu kebijakan pemerintah untuk memberantas terorisme adalah dengan memantapkan koordinasi dan sinergi antardepartemen bahkan lintas negara seperti membangun kapasitas melalui pembentukan Desk Antiteror di Kementerian Polhukam. "Jadi, usulan untuk menjadikan desk antiteror sebagai badan, akan kami pertimbangkan dan tindaklanjuti," ujar Widodo. Pada kesempatan yang sama, Kepala Badan Intelijen Negara (BIN) Syamsir Siregar mengatakan, jaringan aktor beberapa aksi teror di Indonesia Noordin M Top masih berada di beberapa wilayah di Indonesia. "Jaringan Noordin M Top di Indonesia sebagian besar adalah lulusan Afghanistan, yang tersebar di Jawa Tengah dan Jawa Timur. Bahkan kini telah terbangun sel-sdel baru bentukan Noordin M Top," katanya. Jadi, selama Noordin M Top belum tertangkap maka ancaman teror akan tetap ada di Indonesia. "Karena itu, perlu adanya kerja sama dari seluruh komponen masyarakat untuk mengungkap keberadaan jaringan Noordin M Top. Seluruh komponen, bertangungjawab dalam penanganan terorisme," ujar Syamsir. Sementara itu, Kepala Desk Koordinasi Pemberantasan Terorisme Kementerian Koordinator Politik, Hukum dan Keamanan Ansyaad Mbai mengatakan, pemerintah Indonesia kini tengah melakukan program `de-radikalisasi` terorisme sebagai "counter" terhadap kebijakan AS dan sejumlah negara-negara Barat untuk memberantas terorisme melalui cara perang (hard power). Program itu bertujuan untuk memberikan pelurusan kembali tentang makna Islam. "Selama ini, mereka (pelaku teror-red) kerap menggunakan pemahaman Islam seperti `jihad` secara salah, melenceng dari arti sesunggguhnya," ujar Ansyaad. `Jihad`, kata dia, selama ini diartikan sebagai perang melawan negara-negara Barat terutama yang pro AS, `perang` terhadap Israel dan Yahudi dengan cara-cara yang ekstrem. "Ini yang harus kita luruskan kembali, menetralisir pemahaman mereka yang selama ini tidak benar, tentang apa dan bagaimana Islam sesungguhnya," kata Ansyaad. Ia menambahkan, pendekatan `hard power` dalam memerangi terorisme seperti perang terhadap negara yang dianggap sarang teroris, hanya akan menyuburkan aksi-aksi teror yang lebih luas dan kejam. Karena itu, perlu ada pendekatan yang lebih beradab atau `soft power` seperti pendekatan agama sebagai bentuk de-radikalisasi. Di Indonesia, program ini telah berjalan namun belum optimal.(*)
Editor: Heru Purwanto
Copyright © ANTARA 2007