"Tujuan SVLK adalah untuk mendapatkan pengakuan inernasional. Itu yang ingin kami capai," kata Wakil Ketua Asmindo Rudy T Luwia di Jakarta, Kamis.
Menurut Rudy, masih banyak tantangan untuk dapat mengimplementasikan SVLK industri mebel dan kerajinan di Indonesia, salah satunya adalah upaya pengguguran aturan Permendag 89 Tahun 2015 tentang Ekspor Hasil Hutan dan Kayu.
Pada permendag tersebut, industri mebel dan kerajinan termasuk industri yang diharuskan memiliki SVLK untuk bisa ekspor, namun sempat ada wacana akan dicabut.
Alih-alih mendapat pengakuan global, wacana penghapusan kewajiban SVLK industri mebel dan kerajinan justru dinilai membuat industri mebel dan kerajinan mengalami kemunduran.
Taufik Gani, Ketua Umum Asmindo, mengungkapkan ilustrasi bila SVLK, yang dibangun selama kurang lebih 10 tahun oleh pemerintah, pada akhirnya dihapuskan.
"Kalau SVLK dihapuskan dan tidak ada lagi industri yang mengurus itu, kemudian teryata pasar luar negeri meminta SVLK tersebut, kita tidak akan bisa ekspor selama dua tahun. Karena sudah terlambat," kata Taufik.
Bahkan, lanjut Taufik, ketika Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) internasional mengharuskan sertifikasi, dan yang tersisa hanya sertifikasi dari luar negeri, maka industri mebel dan kerjaninan Indonesia harus mengurusnya lagi.
Menurut Taufik, mendapat sertifikasi produk perkayuan di luar negeri membutuhkan biaya yang jauh lebih mahal, yakni sekitar ratusan juta rupiah, dibandingkan SVLK yang saat ini biayanya sekitar Rp20 juta.
Diketahui, 98 persen dari 2.716 orang anggota Asmindo sudah memiliki sertifikat SVLK, di mana sisanya tergolong dalam Industri Kecil Menengah (IKM).
Taufik menyampaikan, pemerintah perlu mempermudah dan mempermurah pengurusan SVLK di Tanah Air, terutama bagi IKM mebel dan kerajinan.
"Menurut kami solusinya adalah bagaimana SVLK itu dipermudah dan dipermurah. Sehingga, 2 persen sisanya yang merupakan IKM, bisa mendapatkan SVLK segera," tutupnya.
Pewarta: Sella Panduarsa Gareta
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016