Jakarta (ANTARA News) - Pasar otomotif Indonesia mengalami lompatan tertinggi pada 2010 lalu, yang tumbuh sebesar 57,3 persen dari 486.088 unit pada tahun sebelumnya, menjadi 764.710 unit. Tren pertumbuhan itu terus berlangsung dalam kurun waktu tiga tahun berikutnya, hingga mencapai rekornya 1.229.811 unit pada 2013.


Namun demikian, tren pertumbuhan itu justru menemui hambatan, dimana pasar otomotif domestik kemudian melemah 1,8 persen pada 2014 menjadi 1.208.028 unit dan puncaknya pada 2015 dengan penjualan nasional hanya mencapai 1.013.291 unit atau anjlok 16,1 persen.


Menyambut 2016, pelaku industri otomotif tentunya tidak punya pilihan lain selain menanamkan optimisme, meskipun mereka masih terlihat berhati-hati. Gabungan Industri Kendaraan Bermotor Indonesia (Gaikindo) memprediksi pasar otomotif domestik tahun ini bisa mencapai 1.050.000 unit atau naik sekira lima persen saja.


"Untuk 2016 diprakirakan akan ada kenaikan sekira lima persen, jadi angkanya kami masih sangat berhati-hati di 1.050.000 unit, kalaupun bagus-bagus bisa sampai 1.100.000 unit. Itu prediksi Gaikindo untuk 2016," kata Ketua Umum I Gaikindo Jongkie D. Sugiarto dalam sebuah pemaparan prediksi industri otomotif 2016 di Jakarta, Rabu (27/1).


Jongkie menuturkan optimisme itu sejalan dengan sejumlah indikator ekonomi makro yang dicanangkan pemerintah untuk dicapai dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara 2016.


Pemerintah mencanangkan pertumbuhan ekonomi bisa mencapai 5,3 persen, naik dari 4,7 persen pada 2015, tingkat inflasi diprakirakan sebesar 4,7 persen dari 3,35 persen pada 2015, suku bunga acuan Bank Indonesia (BI Rate) baru saja diturunkan 25 basis poin ke level 7,25 persen pada awal Januari dan nilai tukar prediksi Rp13.900 per dolar AS.


"Jadi kalau kita lihat indikasi ini, tentunya kita harus optimis bahwa 2016 ini seharusnya lebih baik dibandingkan 2015. Meski jika dilihat kembali indikator-indikator makro itu peningkatannya tidak terlalu besar juga dari 2015 ke 2016," kata Jongkie.


Menurut Jongkie terdapat beberapa faktor kunci yang mempengaruhi aktivitas penjualan kendaraan bermotor di Indonesia, yakni nilai tukar, inflasi dan daya beli, keberadaan pembiayaan otomotif, kondisi ekonomi global, harga jual bahan bakar minyak (BBM), peraturan dan perpajakan, pembangunan infrastruktur, pertumbuhan ekonomi nasional dan BI Rate.


Jongkie menggaris bawahi dua hal di dalam sejumlah faktor tersebut, yakni keberadaan pembiayaan otomotif serta peraturan dan perpajakan dari pemerintah.


"Pembiayaan otomotif itu penting karena sekira lebih dari 70 persen konsumen masih membutuhkan pembiayaan, sehingga nantinya terkait dengan BI Rate, kalau itu naik tentunya akan berpengaruh kepada suku bunga kredit pembiayaan otomotif yang naik dan bisa jadi konsumen yang tadinya siap membeli mundur teratur," ujar Jongkie.


Sementara itu, soal peraturan dan perpajakan pemerintah yang berkaitan langsung dengan aktivitas industri otomotif, Jongkie menegaskan kembali bahwa dalam setiap penjualan mobil di Indonesia, 35 persen dari harga jualnya sudah masuk ke kantong kas pemerintah pusat dan daerah.


"Hitung saja Bea Balik Nama itu 10 persen, kemudian Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 10 persen, sementara Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) tarifnya beragam untuk berbagai model dari 10 persen hingga 125 persen, ambil rata-rata saja, sudah 35 persen masuk ke kantong pemerintah," kata Jongkie.


Ia menambahkan, "Ke pemerintah pusat 25 persen dari PPN dan PPnBM, sementara ke Pemda lewat Bea Balik Nama itu tadi,".


Prediksi Gaikindo yang optimistis berbeda dengan proyeksi lembaga konsultan bisnis, Frost & Sullivan, yang memprakirakan pasar otomotif di Indonesia akan mengalami penurunan sebesar 4,3 persen pada 2016 menjadi hanya 969.100 unit saja.


Frost & Sullivan mengungkapkan depresi yang melanda pasar komoditas serta melemahkan harga komoditas serta asumsi bahwa depresiasi nilai tukar rupiah terhadap mata uang asing akan berkelanjutan di sepanjang 2016.


Selain itu terdapat juga faktor eksternal yakni dampak kenaikan tingkat suku bunga acuan Bank Federal AS yang baru dilakukan pada November 2015 serta perlambatan situasi perekonomian di Tiongkok.


Secara umum seluruh faktor tersebut pada akhirnya akan menyebabkan kenaikan harga jual berbagai model mobil yang beredar di Indonesia, sehingga daya beli masyarakat turun dan praktis melemahkan pasar otomotif domestik.


"Ya kalau dari mereka memang melihat ada kemungkinan penurunan 4,3 persen tapi kami melihatnya optimis lah, karena pertumbuhan ekonomi dicanangkan lebih tinggi juga," ujar Jongkie menanggapi perbedaan prediksi pasar otomotif domestik antara Gaikindo dengan Frost & Sullivan.


Pengunduran diri Ford

Di tengah penyemaian benih-benih optimisme akan iklim cerah yang bakal dihadapi pasar otomotif domestik pada 2016, kabar mengejutkan datang dari pabrikan asal AS, Ford. Pada 25 Januari 2016, Ford melalui PT Ford Motor Indonesia, lewat laman resmi mereka mengumumkan pernyataan mundur dari seluruh operasi bisnis mereka di Indonesia secara penuh pada semester kedua 2016 nanti.


Lewat pernyataan resmi kepada media, FMI mengungkapkan bahwa berdasarkan hasil pembelajaran secara seksama dari semua opsi yang memungkinkan jelas tidak ada peluang bagi Ford untuk menuju keuntungan yang berkesinambungan di Indonesia.


Menariknya pengunduran diri Ford justru ditanggapi cukup dingin oleh para pemangku kepentingan, terutama Kementerian Perindustrian.


Direktur Jenderal Industri Logam Mesin Alat Transportasi dan Elektronika Kemenperin I Gusti Putu Suryawirawan hanya menyoroti perkara bahwa pabrikan AS tersebut belum memiliki fasilitas produksi apa pun di Indonesia dan statusnya hanya berjualan mobil.


"PT FMI sampai saat ini belum mempunyai fasilitas industri di Indonesia, mereka cuma berdagang mobil," katanya.


Sementara dari Gaikindo reaksinya sedikit berbeda, di satu sisi menyayangkan namun di sisi lain menganggap tidak akan ada pengaruh yang terlalu besar atas keputusan Ford terhadap pasar otomotif domestik.


"Kami tentu menyayangkan keputusan Ford untuk keluar dari Indonesia, karena prinsipnya Gaikindo menyambut baik semua merek yang ingin masuk ke Indonesia dan kalau ada yang pergi tentu sayang," kata Jongkie.


Namun demikian, Jongkie menambahkan bahwa kepergian Ford dari Indonesia tidak akan berdampak besar terhadap pasar otomotif domestik.


"Pengaruh pasti ada, tetapi dalam arti apa pengaruhnya. Kalau misalnya yang pasarnya besar sekali memutuskan keluar dari Indonesia ya pasti terasa, sementara Ford kan belum," ujarnya.


Pernyataan Jongkie tentu bukan tanpa dasar, data Gaikindo memperlihatkan bahwa pasar otomotif di Indonesia pada 2015, 98 persen di antaranya didominasi oleh mobil-mobil pabrikan asal Jepang, sementara pabrikan asal AS -termasuk Ford di dalamnya- hanya merasakan satu persen pangsa pasar saja, turun dari dua persen sepanjang 2009-2014.


Dari pangsa satu persen tersebut, Ford berbagi dengan Chevrolet, Jeep, Dodge dan Chrysler. Ford menjadi pemimpin merek-merek AS di Indonesia dengan penjualan terbanyak yang "hanya" mencapai 4.986 unit saja sepanjang 2015 lalu.


Secara keseluruhan pada 2015 mobil-mobil merek AS terjual sebanyak 10.002 unit saja, turun dari 23.034 unit mobil yang laku pada 2014. Bandingkan dengan total penjualan merek-merek Jepang yang mencapai 988.715 unit sepanjang 2015.


Tak salah kiranya bila Ford melihat tak ada opsi kemungkinan menuju keuntungan berkesinambungan di Indonesia, sementara Kemenperin dan Gaikindo cukup "cuek".


Terkait dengan dominasi merek Jepang di pasar otomotif Indonesia, Jongkie, yang juga menjabat sebagai Presiden Direktur PT Hyundai Indonesia Motor APM merek Korea Selatan tersebut di Indonesia, menilai secara aturan dan regulasi semua berjalan dengan adil dan setara.


Ia menampik adanya anggapan bahwa merek-merek Jepang terlalu diberikan keuntungan besar dari pihak pemangku kepentingan.


"Indonesia itu selayaknya negara-negara Asia Tenggara lain didominasi merek Jepang, tetapi bukan berarti merek dari negara lain tidak memiliki kesempatan," ujarnya.


Ketiadaan fasilitas produksi di Indonesia, yang bukan tidak mungkin bakal dianggap menjadi salah satu faktor mengapa Ford dan merek-merek non Jepang lain tidak bisa bersaing sebetulnya secara teoritis bisa diakali oleh para importir, kata Jongkie.


Mereka bisa mengimpor mobil completely built-up (CBU) dari negara-negara anggota ASEAN sehingga bea masuknya bisa nol persen, dengan demikian mereka seharusnya bisa bersaing juga.


Lain halnya apabila diimpor langsung dari Eropa atau AS, yang memang sejauh ini belum mencantumkan kerja sama perdagangan otomotif selaiknya Indonesia dengan Jepang, Korea, Tiongkok atau Korea Selatan yang menjadi bagian dari kesepatakan perdagangan ASEAN dengan masing-masing negara tersebut.


"Artinya kalau memang pihak AS maupun Eropa mau melakukan kerjasama bilateral atau multilateral terkait itu, saya pikir dari Indonesia akan terbuka. Tetapi tentu tidak cepat prosesnya," ujarnya.


Kepergian Ford dari Indonesia menyusul langkah General Motors, sesama pabrikan AS yang di antaranya membawahi merek Chevrolet, angkat kaki dari Indonesia dengan menutup fasilitas produksi di Pondok Ungu, Bekasi, Jawa Barat pada semester I 2015 lalu.


Akan tetapi GM berkomitmen masih melanjutkan aktivitas penjualan beserta layanan purnajual mereka di Indonesia. Di sisi lain lewat perusahan patungan GM China, SAIC Motors dan Guangxi Motor Corporation, PT SAIC General Motors Wuling (SGMW) Motor Indonesia, mereka juga kembali masuk ke Indonesia dan tengah membangun fasilitas produksi di Bekasi.


Singkatnya, Jongkie menegaskan Gaikindo tidak akan mengubah target pencapaian industri otomotif di Indonesia pada 2016 hanya lantaran berakhirnya aktivitas FMI.


Ancaman impor truk bekas

Gaikindo justru menyoroti regulasi baru yang dikeluarkan pemerintah lewat Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 127 Tahun 2015 tentang Ketentuan Impor Barang Modal Dalam Keadaan Tidak Baru yang di dalamnya termasuk pembolehan perusahaan pengguna kendaraan mengimpor langsung truk bekas.


Dengan berlakunya regulasi tersebut perusahaan bisa mengimpor langsung truk bekas tanpa perlu melewati APM ataupun ATPM merek-merek bersangkutan. Jongkie menilai hal itu bukan hanya mengancam keberlangsungan para APM-ATPM melainkan juga bagi para pengguna kendaraan terkait dengan layanan purnajual atas kendaraan-kendaraan bekas yang mereka impor dan pakai.


"Kalau lewat APM-ATPM sudah jelas mekanisme layanan purnajualnya seperti apa, kalau langsung begitu tidak jelas siapa yang akan memberikan servis resmi maupun suku cadang," kata Jongkie.


Kebijakan tersebut juga dinilai tidak sejalan dengan semangat pemerintah memperbesar nilai investasi di sektor kendaraan bermotor, sebagaimana disampaikan Direktur Pemasaran Divisi MFTBC PT Krama Yudha Tiga Berlian Motors Duljatmono.


"Kebijakan ini tidak sejalan dengan kemauan pemerintah memperbesar nilai investasi di dalam negeri di sektor kendaraan bermotor. Karena dengan dikeluarkannya beleid tersebut, akan sulit untuk pemain yang melakukan produksi lokal. Jangankan mengundang investasi baru, untuk mempertahankan yang lama saja sulit kalau berlaku seperti itu," ujar Duljatmono.


Sementara itu Dirjen Ilmate Kemenperin berusaha menenangkan para pelaku industri otomotif terkait dengan regulasi baru tersebut.


"Pelaku tidak usah khawatir, karena persoalan rekomendasi dan perizinan kami yang memutuskan. Untuk truk-truk yang disebutkan dari beleid tersebut dijamin belum diproduksi di sini," kata Putu.


Terkait dengan urusan purnajual dan layanan perawatan, lanjut Putu, akan ditanggung oleh para pengimpor sendiri, jika tidak ada jaminan maka tidak diberikan rekomendasi.


Putu juga mengibaratkan bahwa regulasi impor truk bekas tersebut sedikit banyak mirip dengan aktivitas pengimporan mobil-mobil mewah seperti Ferrari dan sejenisnya, yang tidak mempersoalkan layanan purnajual.


"Sebab di sini untuk permohonan satu unit pun diterima, asalkan syarat-syarat dipenuhi," pungkasnya.

Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2016