"Kami perkirakan masih akan terjadi hingga Maret, biasanya terjadi persaingan penurunan tarif sewa kamar," kata ketua Perhimpunan Hotel dan Restoran Indonesia DIY, Istijab M Danunagoro, di Yogyakarta, Kamis.
Menurut dia, sejak awal Januari 2016 okupansi atau tingkat hunian kamar hotel cenderung rendah dengan rata-rata mencapai 55 persen atau menurun 20 persen dari okupansi normal.
Penurunan itu antara lain disebabkan tidak adanya musim liburan baik di Indonesia maupun mancanegara, selain juga terdampak aksi teror bom yang terjadi di kawasan Sarinah Jakarta Pusat beberapa waktu lalu.
Kondisi tersebut, menurut dia, dapat memicu munculnya persaingan hotel dengan cara yang tidak sehat antara lain dengan melakukan perang tarif atau penurunan tarif di bawah batas bawah tarif yang disepakati.
Apalagi, kini ditambah pula dengan jumlah pembangunan hotel di Yogyakarta yang terus meningkat setiap tahun.
"Sehingga berbagai cara akan dilakukan agar mereka sama-sama mendapatkan kunjungan wisatawan," kata dia.
Menurut dia, untuk menarik minat kunjungan pengelola hotel cukup mempromosikan program-program yang menarik bagi calon pengunjung.
Untuk mendukung hotel tetap mendapatkan jumlah kunjungan yang baik, menurut Istijab, pada Februari 2016 PHRI DIY juga akan memprogramkan paket heboh berupa paket perjalanan dan akomodasi wisata murah.
"Sehingga para pengelola hotel tidak perlu berlomba menurunkan tarif terlalu rendah," kata dia.
Pengelola hotel, khususnya yang tergabung dalam keanggotaan PHRI DIY, menurut dia, seharusnya menaati harga atau tarif batas bawah yang telah disepakati bersama.
Sesuai kesepakatan anggota PHRI DIY, hotel bintang lima dibatasi dengan tarif paling rendah Rp500.000, bintang empat Rp400.000, bintang tiga Rp300.000, bintang dua Rp250.000 dan bintang satu Rp200.000.
"Kami hanya bisa memberikan dorongan dan menegur jika mereka melanggar," kata dia.
Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2016