Kami pergi ke Kalimantan Barat hanya mencari kehidupan yang lebih baik
Lebak, Banten (ANTARA News) - Mantan pengikut Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar) asal Provinsi Banten mengharapkan diterima kembali oleh masyarakat di tempat asalnya, dan ingin masyarakat tidak mengasarinya.
"Kami minta warga menerima karena tuduhan sebagai pengikut aliran tertentu tidaklah benar. Kami pergi ke Kalimantan Barat hanya mencari kehidupan yang lebih baik," kata Lasimin (50), warga Kota Tangerang, di penampungan Gedung Badan Pemulihan dan Pengembangan Sosial (BPPS) Provinsi Banten di Pasir Ona, Rangkasbitung, Selasa.
Ia berangkat ke Mulawi di Kalimantan Barat, empat bulan lalu bersama isteri dan kedua anaknya, demi membuka lahan pertanian di sana.
Koordinator Lapangan Gafatar meyakinkan Lasimin untuk hijrah ke Mulawi karena lahan daerah ini subur dan cocok ditanami sebagai lahan pertanian.
Lasimin pergi ke sana dengan menjual harta bendanya, termasuk rumah.
Namun, dia terkena imbas kasus Mempawah, Kalimantan Barat, sehingga pemerintah akhirnya memulangkan eks Gafatar ke Pulau Jawa.
Lasimin bersaksi bahwa dia dan yang lainnya sudah diterima dengan baik oleh warga di sana. "Kami hidup di sana dengan damai, aman, kondusif, juga bisa bertani," katanya.
Lasimin kini harus pulang dan dia berharap warga di kampung halamannya dapat menerima lagi dia untuk hidup rukun bersama di tempat asalnya ini.
Lasimin mengaku selama di Kalimantan Barat, dia hanya bertani dengan warga Gafatar lain dari Jawa.
Lasimin menolak menyebut diri penganut aliran sesat dan menyesatkan, karena merasa tak menemukan kesalahan apa-apa, apalagi Gafatar sudah bubar setahun lalu dan masyarakat Mulawi, Kalimantan Barat, memperlakukan eks Gafatar layaknya warga Indonesia lainnya.
Dia harus meninggalkan harta benda, lahan pertanian, dan sepeda motor miliknya di Mulawi.
"Kami berharap pemerintah dapat memberikan solusi sebagai anak bangsa dengan kehidupan yang baik," kata Lasimin yang mengaku berprofesi sopir angkot sebelum ke Mulawi.
Siti Badriah (45), warga Kota Tangerang Selatan, juga bersaksi bahwa sejak setahun lalu Gafatar membubarkan diri. Dia memilih pergi ke Kalimantan Barat demi mencari kehidupan lebih baik dengan bertani.
"Kami tinggal di sana dengan damai dan senang memiliki lahan seluas dua hektar hasil beli seharga Rp8 juta," kata Siti.
Siti bingung karena harus dipulangkan ke kampung halaman, padahal dia harus makan ketika pekerjaan sudah tidak lagi dia miliki.
Perabotan rumah tangga pun sudah dijualnya ke orang lain.
Dia merasa akan ditolak oleh tetangga-tetangga asal tempat tinggalnya di Tangeran Selatan.
"Kami berharap pemerintah bisa melindungi kami agar kami bisa dikembalikan ke kampung halaman dengan damai tanpa penolakan," kata Siti penuh harap.
Kepala Dinas Sosial Provinsi Banten Ino Rawita mengaku hanya melepaskan anggota Gafatar yang kini ditampung di Gedung BPPS, kepada pemerintah daerah-pemerintah daerah di provinsi Banten ini, sesuai Surat Keputusan Menteri Sosial RI.
Tanggung jawab kini berada di masing-masing daerah.
Warga eks Gafatar asal ini seluruhnya ada 122 orang yang terdiri dari 87 dewasa, 19 anak-anak dan 16 balita. Mereka berasal dari Kabupaten Lebak, Pandeglang, Serang, Tangerang, Kota Tangerang, dan Tangerang Selatan.
"Kami berharap bupati/wali kota di Banten bisa melakukan pembinaan agar mereka para mantan Gafatar bisa hidup kembali normal di masyarakat," kata Ino.
Ino juga ingin masyarakat merangkul para eks Gafatar karena mereka juga warga negara yang harus dilindungi siapa pun, termasuk oleh masyarakatnya.
Dia menjanjikan memberikan pelatihan keterampilan kepada para mantan Gafatar agar bisa hidup mandiri sehingga tidak membebani anggota keluarga.
"Kami yakin dengan pembinaan ini mereka bisa hidup kembali normal," kata Ino.
Pewarta: Mansyur
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2016