... mengikat semua orang, ganti menteri ganti kurikulum. Ganti presiden ganti kebijakan. Indonesia ini mau kemana?...Jakarta (ANTARA News) - Apakah Anda tahu, 19 Desember diperingati sebagai hari apa? Lalu apa peristiwa penting yang pernah terjadi di tanggal itu pada 1948? Begitulah kira-kira lontaran pertanyaan bertubi-tubi Wakil Ketua MPR, Hidayat Nur Wahid, kepada seisi hadirin di ruangan kerjanya, di Jakarta, beberapa waktu lalu.
Cukup lama dia menunggu jawaban. Namun tak ada satupun yang bisa memuaskannya. Sedikit menghela nafas ia akhirnya mengungkapkan, 19 Desember merupakan Hari Bela Negara.
Pada tanggal itu, tahun 1948, terjadilah Agresi Militer Belanda ke II. Saat itu, Sjafruddin Prawiranegara diberi mandat membentuk pemerintahan sementara di Sumatera, pasca penangkapan Soekarno dan Hatta oleh Belanda.
Jadilah Prawiranegara menjadi presiden Indonesia pada masa darurat ini, namun tidak dicatat secara resmi dalam sejarah nasional bahwa dia ada dalam urutan kedua suksesi kepemimpinan nasional.
Disinggung mengenai pengetahuan sejarah pemuda saat ini, Hidayat pun mengungkapkan, tak seperti dulu, pemuda saat ini cenderung tak paham sejarah bangsanya.
"Memang masih masalah. Saya ingat betul, waktu di sekolah dasar dulu kita diajarkan sejarah, tentang ilmu bumi, dan sebagainya. Saya hapal seluruh nama kota di Indonesia, sungai, gunung," kata dia, di Jakarta, belum lama ini.
"Soal sejarah saya hapal kapan berdiri kerajaan Singgosari, siapa raja-rajanya, apa yang terjadi tahun 1911, semuanya kami hapal. Waktu itu saya masih SD," tambah dia.
Politisi itu mengatakan, pengaruh kurikulum Indonesia yang tidak lagi fokus ke mata pelajaran sejarah, ilmu bumi bisa menjadi salah satu faktor penyebabnya.
"... Dan mungkin kemudian terkait dengan masalah pendidikan kebangsaan dan kenegaraan, terlalu umum jadinya. Karena terlalu umum, akhirnya tidak menangkap," tutur dia.
"Kurikulum sesungguhnya bagian dari problem. Pada periode lalu kan sudah dibuat kurikulum 2013. Tetapi pada periode sekarang malah itu dianulir dan kembali ke kurikulum 2006," kata dia.
"Menurut saya, dalam rangka untuk lebih mencintai Indonesia, penting betul untuk diajarkan sejarah Indonesia, tentang pahlawan-pahlawan bangsa, tentang kiprah mereka untuk kemajuan Indonesia, kemerdekaan Indonesia, penyelamatan Indonesia dari beragam ideologi yang menyimpang, termasuk potensi Indonesia itu apa," kata dia.
"Ini yang memang tidak muncul. Di sekolah-sekolah sudah tidak ada. Saya, di mana-mana bertanya tentang peristiwa sejarah, pada tidak nyambung," kata dia.
Selain itu, MPR sebagai lembaga tinggi negara yang bertugas melakukan sosialisasi Empat Pilar juga punya andil memasukkan sejarah dalam kegiatan sosialisasinya.
"Salah satu yang kita lakukan adalah menjadikan ini (sejarah) bagian materi yang kita berikan pada waktu sosialisasi Empat Pilar MPR. Melalui metode outward bond dengan rekan-rekan mahasiswa, atau dialog terbuka, diskusi langsung, maupun saat bertemu para tokoh," ujar Hidayat.
Peran Presiden dan GBHN
Kendati begitu, Hidayat menilai, MPR tak bisa bekerja sendirian. Presiden bisa turut mengambil peran mensosialisasikan Empat Pilar dan memasukkan sejarah dalam sosialisasi itu.
"Anggaran kita terbatas, kewenangan kita juga terbatas. Kita tidak memiliki kewenangan eksklusif. Karena itu yang paling mungkin itu eksekutif, presiden. Itu sudah usulkan ketika saya menjadi ketua MPR pada 2009 saya usulkan waktu itu Pak SBY mengambil peran ini," kata Hidayat.
Selain itu, lanjut dia, dibutuhkan produk undang-undang yang sifatnya mengikat semua pihak dan sekaligus mengatur persoalan semacam kurikulum.
"Sekarang pun sudah kita sampaikan pada Pak Jokowi, untuk mengambil peran ini. Tanggapannya sangat setuju tetapi belum terlaksana. Dalam rapat konsultasi selalu kami sampaikan dan ingatkan," kata Hidayat.
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2016