Tanah sudah dijual. Saat di Yogya, saya kerja di tempat orang
Pontianak (ANTARA News) - Bisakah anda bayangkan anak kesayangan dan menjadi harapan anda, tiba-tiba menghilang entah kemana? Dia hilang begitu saja, namun anda tahu anak itu masih hidup tapi tidak mau bertemu tanpa alasan yang jelas.
"Perjalanan kali ini sungguh tidak enak. Saya bukan sedang berlibur, saya sedang mencari anak. Anak harapan yang menghilang, entah kemana?" kata Nurul, warga Semarang, Jawa Tengah, ibu dari Faradina Ilma (25) alumnus pascasarjana Planologi Universitas Diponegoro.
Perempuan berkerudung ini sudah berkeliling ke banyak tempat, mencari anaknya yang menghilang sejak 23 November 2015. Selain di wilayah Semarang, Jember dan Surabaya, ia juga mencari anaknya hingga ke Lombok, Nusa Tenggara Barat.
Di Jember, ia masuk ke perkampungan petani, menemui seorang perempuan petani sederhana, ibu dari pria yang diduga membawa pergi Ilma, anak pertamanya itu.
Si ibu yang ditanyai tak tahu-menahu keberadaan anak laki-lakinya. Dia hanya tahu anaknya selama ini bekerja di Surabaya dan orang baik-baik. Laki-laki itu bernama Eko Siswandoyo. Ia diduga membawa pergi Ilma dari rumah kos di Jalan Kebonsari Manunggal, No. 14, Surabaya, dengan mengangkut semua barang-barang, terkecuali atribut pegawai negeri sipil (PNS) di Pemerintah Provinsi Jawa Timur.
Nurul dan suaminya, Abdoel Khaliq (59) mencari tahu siapa sesungguhnya Eko Siswandoyo. Ternyata ia adalah salah satu dari tujuh orang yang telah di-Islam-kan kembali Majelis Ulama Indonesia (MUI) Surabaya, pada 2007, karena menjadi pengikut Al-Qiyadah Al-Islamiyah.
Menurut Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam Jakarta dalam http://lppi-jakarta.blogspot.co.id, komunitas ini sudah dinyatakan sebagai aliran sesat oleh Majelis Ulama Indonesia (MUI) karena banyak penyimpangan dalam ajarannya, salah satunya, pencetusnya yang bernama Ahmad Moshaddeq mengaku menjadi nabi.
Komunitas ini kemudian berganti nama menjadi Millah Abraham (Komar), setelah Ahmad Moshaddeq divonis bersalah oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 2008 dan dihukum penjara selama empat tahun. Kemudian April 2012, Komunitas Millah Abraham bermetamorfosis menjadi Organisasi Gerakan Fajar Nusantara (Gafatar).
Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Kalbar yang diketuai Dr H Wajidi Sayadi M Ag, dalam rilisnya 21 Januari 2016, menyatakan salah satu faham yang dianut Gafatar diindikasikan menyatukan agama Yahudi, Kristen, dan Islam, sehingga dikhawatirkan dapat merusak kerukunan umat beragama.
"Saya baru menyadari belakangan ini, anak saya selama ini ternyata aktif dalam kegiatan sosial yang diadakan Gafatar," kata Nurul dengan nada sesal.
Perempuan berjilbab itu ditemui sedang duduk di gazebo Pembekalan dan Angkutan Darat Militer (Bekangdam) Kodam XII Tanjungpura, Jalan Adisucipto, Kecamatan Sungai Raya, Kabupaten Kubu Raya. Bekangdam menjadi tempat penampungan pengungsian eks anggota Gafatar yang dievakuasi aparat dari pemukiman yang dibangun mereka di delapan titik di Kalbar.
Nurul terlihat kelelahan setelah selama tiga hari berulang kali, berkeliling dari satu tenda ke tenda lainnya.
Karena seringnya bolak balik itu, sejumlah eks anggota Gafatar selalu bertanya kepadanya, apakah ia sudah menemukan anaknya. "Mereka sampai mengenal saya," katanya.
Baik Nurul maupun suaminya menduga-duga, Ilma tidak berada di barak yang dibangun warga eks-Gafatar di kilometer 12 Dusun Moton Asam, Desa Antibar, Mempawah Timur yang ditempati 110 kepala keluarga (300 jiwa) ataupun di Desa Pasir Mempawah Hilir yang ditempati 101 KK dengan 239 jiwa, di Kabupaten Mempawah yang sudah dibakar warga.
Ilma diperkirakan berpindah dari satu tempat ke tempat lain, atau justru menetap di suatu tempat khusus, mengingat ia memiliki keahlian di bidang perencanaan wilayah.
"Saya sudah cek di daftar pengungsi di sini, tenaga ahlinya yang ada sekitar tiga saja, seperti dokter, perawat dan guru. Yang lainnya orang biasa...," katanya lagi.
Nurul mengaku pernah bertemu Eko sekitar Juli 2015. Saat ditanyai, Eko selalu menunduk dan tidak banyak bicara. Sehingga ia pun tidak mengetahui lebih banyak latar belakang pria tersebut.
Sosok Ilma, menurut ibunya adalah anak yang cerdas. Sejak kecil hingga remaja sangat dekat dengan ibunya dan selalu dalam pengawasan orangtua. Ketika selesai sarjana strata I Planologi Undip, Ilma melamar pekerjaan di Kementerian Lingkungan Hidup di Jakarta dan meraih ranking I. Namun ia tidak mengambil peluang itu dengan alasan tak siap tinggal di kota besar.
Ilma kemudian memilih menjadi PNS di Pemprov Jatim. Saat yang sama ia menyelesaikan program master di bidang Planologi di Undip dan menjadi lulusan terbaik dengan predikat Cum Laude (dengan pujian).
"Saya menduga anak saya bisa bergabung di Gafatar saat sedang menyusun tesis dan saat itu otak sedang penat (jenuh). Sehingga gampang dimasuki ajaran-ajaran tidak benar itu," katanya lagi. Orangtua ini menduga, Ilma bisa bersama Eko, didasari suka atau cinta sebagai muda mudi.
Perempuan itu menambahkan anaknya tidak hilang, melainkan telah menghilangkan diri. "Dia bukan hilang. Kalau hilang, kenapa semua barang-barangnya juga hilang?" katanya setengah bertanya.
Sebagai orangtua yang sudah melahirkan dan membesarkan anaknya, perempuan itu mengaku patah dengan kepergian anaknya. Apalagi sang anak dikenal selalu manut (patuh) ketika dinasihati. "Ketika diminta untuk tidak aktif lagi dalam organisasi karena harus menyelesaikan kuliah dan bekerja, dia manut," katanya.
Ketika masih duduk di bangku sekolah menengah pertama (SMP), Nurul juga sudah mengingatkan anak sulungnya itu agar tidak terjerumus dalam aliran sempalan. Perempuan berkaca mata itu ingat betul saat menyaksikan televisi bersama Ilma, dan melihat Ahmad Moshaddeq yang dianggap "nabi" ataupun guru spiritual Al-Qiyadah Al-Islamiyah di sidang pengadilan karena menyebarkan ajaran sesat.
"Saya sudah mengingatkan dia (Ilma) sejak kecil, jangan sampai ikut ajaran Ahmad Moshaddeq. Tetapi tak tahunya ternyata dia bergabung di situ," kata Nurul, sambil tersedu menangis.
Eni Nurfaizah, orang tua dari dr Dyah Ayu Wulandari, juga mencari keberadaan putri sulungnya itu di penampungan pengungsi di Bekangdam XII/Tanjungpura. Agak berbeda dengan Nurul yang kelelahan, Eni terlihat mondar mandir dari satu tenda ke tenda lainnya dan dari satu bangunan ke bangunan lainnya.
Dia baru tiba di Pontianak Jumat (21/1) pagi melalui penerbangan pertama tujuan Jakarta-Pontianak. Ia menyusul suaminya, Wiyono yang sudah berada di Kalbar sejak tiga hari sebelumnya. "Suami saya sudah kelelahan. Sekarang gantian saya," katanya sambil melayani pertanyaan sejumlah wartawan.
Sambil bercerita mengenai anaknya, Eni menunjukkan fotokopi buku pedoman pengurus Gafatar yang ditinggalkan anaknya untuk dirinya. "Ini buku sengaja dia (dr Dyah) tinggalkan. Dalam suratnya, buku ini dia berikan kepada saya, untuk dipelajari supaya saya tertarik untuk bergabung," kata perempuan berjilbab itu.
Eni sudah membaca habis buku tersebut. Dia membuat ringkasan. Kemudian ditulis dalam catatan di salah satu lembar fotokopi buku. Buku asli sudah diserahkan ke Kapolda Kalbar Brigjen Polisi Arief Sulistyanto untuk menjadi barang bukti.
Ada beberapa poin penting yang dicatat perempuan tiga anak itu. Yakni mengenai tulisan yang menjelaskan tahapan mengikuti dan mencontoh pola yang dijalankan Nabi Musa AS. Pertama mendakwah secara selektif, kedua mendakwah secara terang-terangan, ketiga hijrah, keempat berperang, kelima memperoleh kemenangan dan keenam berhasil mewujudkan kepemimpinan dunia.
Dari enam tahapan, akan diraih jalan kebenaran atau Shirotolmustaqim.
Eni mengaku tahu anaknya bergabung di Gafatar sejak lama, sekitar 2012. Dr Dyah menjadi Ketua Tim Medis Gafatar se-Jateng. Sedangkan suaminya, Tri Anggoro Yusrin merupakan pengurus DPD Gafatar Solo.
Namun Eni dan suami tidak menyadari organisasi yang aktif dalam kegiatan sosial itu hanya kedok, karena di balik itu, ada faham yang menyesatkan.
"Saya tahunya ini murni organisasi sosial. Selama ini anak saya sibuk dengan kegiatan sosialnya itu. Saya juga mengizinkan dia menikah dengan teman yang satu organisasi itu (Tri Anggoro Yusrin). Tetapi sekarang mereka malah menghilang...," katanya.
Setelah membaca buku, Eni baru menyadari keberadaan Gafatar merupakan ancaman bagi bangsa Indonesia. Tahapan yang kini dilakukan anggota eks-Gafatar adalah hijrah. Pindah ke suatu wilayah yang bisa menerima mereka, sebelum mempersiapkan diri melaksanakan tahapan berikutnya.
"Ini kan mengkhawatirkan!" katanya lagi.
Dokter Dyah merupakan anak harapan ibunya. Dokter Dyah akan melanjutkan studi spesialis pada Februari tahun ini. Semua kebutuhan selalu dicukupi oleh Eni dan suami yang menetap di Jakarta, Dyah dan suami tinggal di Semarang.
Ketika pergi meninggalkan rumah, bersama suami dan anak yang masih balita, dia membawa perlengkapan medis (obat dan peralatan). Dia meninggalkan pesan berupa surat supaya ayah dan ibunya ikhlas dengan kepergiannya.
Menolak pulang
Di penampungan pengungsi, baik Eni maupun Nurul melihat seorang eks anggota Gafatar yang menolak pulang ketika dijemput ayahnya, warga Provinsi Bangka Belitung.
Namanya Mentari dan masih terdaftar sebagai mahasiswa FKIP program studi Bimbingan dan Konseling, Universitas Ahmad Dahlan, Yogyakarta.
Mentari dibujuk ayahnya dengan rangkulan. Usaha sang ayah disaksikan sejumlah anggota TNI yang juga turut membujuk Mentari. Perempuan itu akhirnya luluh dan bersedia pulang, setelah dipertemukan dengan Menteri Sosial Khofifah Indar Parawansa yang sedang mengunjungi pengungsian, Jumat siang.
Di penampungan Bekangdam, hingga Jumat sore tercatat ada 1.124 orang eks Gafatar. Kemudian dipulangkan ke Surabaya dan DKI Jakarta menggunakan lima penerbangan komersial sebanyak 959 orang pada malam harinya.
Proses pemulangan masih berlanjut, menggunakan KRI Gilimanuk dengan membawa sebanyak 335 orang yang merupakan sisa dari eks anggota Gafatar yang ada di Bekangdam dan Kompi B, Kodam XII/Tanjungpura dengan tujuan Yogyakarta dan Semarang.
Kemudian masuk lagi di penampungan itu, 259 eks Gafatar dari Kabupaten Bengkayang, dari Sintang sekitar 50 jiwa, Sambas 32 jiwa, Kayong Utara dan Ketapang yang diperkirakan lebih dari 1.000 jiwa. Dan dari Singkawang 54 KK atau 224 jiwa. Ada delapan titik di Kalbar yang menjadi lokasi bermukimnya eks anggota Gafatar.
Selain maskapai komersial Lion Air dan KRI Gilimanuk, juga disiapkan dua KRI lainnya, yakni Teluk Banten dan KRI Teluk Bone untuk mengangkut mereka pulang ke daerah asal, DKI Jakarta, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan DI Yogyakarta.
Mereka menolak untuk dipulangkan dengan berbagai macam alasan. Ada yang menyatakan sudah menjual semua harta benda, ada yang malu jika bertemu tetangga karena pasti sudah diketahui sebagai eks-Gafatar, dan ada yang tetap ingin bertani di Kalbar. Sikap menolak pulang itu juga disampaikan dalam aksi unjuk rasa saat Mensos mengunjungi pengungsian.
Para laki-laki menulis pada potongan kardus bekas air mineral dengan tulisan "Kami menolak pulang", "Kami ingin bertani", "Kami tidak mau pulang". Selain itu, secara lisan penolakan juga diutarakan tiap-tiap mereka ketika ditanyai satu demi satu.
Endang (62), warga asal Sleman, Yogyakarta misalnya. Dia menyatakan tak mau pulang karena di Jawa tidak memiliki harta benda lagi. Tanah yang ia miliki sudah dijual untuk biaya pengobatan suaminya yang sakit dan sudah meninggal dunia. "Tanah sudah dijual. Saat di Yogya, saya kerja di tempat orang," kata Endang yang berangkat ke Kalbar menumpang kapal laut, medio November 2015.
Kepergian Endang ke Kalbar kemudian disusul anak laki-lakinya yang membawa serta istri dan dua anak.
Endang mengaku ikut pindah ke Kalbar diajak seseorang bernama Hadi yang memiliki usaha rumah makan di Sleman. Hadi pindah lebih dahulu darinya. Setelah lahan pertanian di Moton siap digarap, Endang dihubungi dan berangkat sendiri naik kapal laut.
"Tidak nyasar, karena saya dikasih alamat lokasinya," kata perempuan itu.
Saat masih di barak Moton, Endang mendapat tugas bercocok tanam sayur-sayuran. Dia memiliki keahlian di bidang pertanian karena pernah bertani saat di Sleman. Dia menanam sayur bayam, sawi, kacang panjang, dan lain-lain. Saat ditinggalkan, tanamannya mulai tumbuh subur tapi belum siap panen.
Endang juga bertugas mengambil pupuk organik di tempat penjagalan sapi di kawasan Pontianak. Pupuk diperoleh secara gratis sebanyak 30 karung dan masih ada sekitar 100 karung belum sempat diambil.
Selain Endang, ada juga Timah (43), warga Bekasi Timur yang tiba di Kalbar sekitar sepekan lalu. Saat dibawa keluar dari barak di desa Pasir, ia bersama suami dan dua anaknya baru tiga hari berada di sana. "Saya baru datang, tapi tiba-tiba sudah harus pergi," katanya.
Ia menolak pulang ke Bekasi karena tidak memiliki harta benda lagi.
Masih di Bekangdam XII/Tanjungpura, juga ada seorang pelajar SMP negeri di Depok, bernama Ari. Ia datang ke Kalbar bersama ayah dan ibunya serta dua adik. Ia pun tak mau pulang ke Depok. Sebelum pindah, Ari dijanjikan tetap sekolah. "Kata ayah, nanti sekolah di sini (Kalbar)," katanya.
Dari pengakuan eks anggota Gafatar, mereka tidak memperkenalkan sekolah formal kepada anak-anak. Anak-anak mengikuti program home schooling atau belajar di rumah di bawah bimbingan orangtua.
Di Dusun Moton Asam, ada satu aula atau ruang pertemuan. Pagi hingga siang digunakan sebagai tempat belajar anak-anak, siang hingga sore untuk kaum perempuan dan malam hari untuk laki-laki.
Kesan eksklusif (terpisah dari yang lain) dalam beraktivitas, agaknya menjadi salah satu alasan yang menimbulkan kecurigaan banyak orang mengenai organisasi ini.
Ketika kasus hilangnya dr Rica Tri Handayani dari Lampung dalam perjalanan menuju Yogyakarta terungkap, dan Gafatar berada di balik peristiwa itu. Banyak orang kemudian secara terbuka mengungkapkan anggota keluarga mereka hilang dan menjadi anggota organisasi ini.
Meski menyatakan telah membubarkan diri Agustus 2015, namun secara bertahap para eks anggota Gafatar mulai menyeberang meninggalkan daerah asalnya menuju Kalimantan. Di antara eks anggota Gafatar yang ditemui di pengungsian menyatakan alasan pindah ke Kalbar, karena daerah ini dianggap subur dan masih memiliki banyak wilayah kosong, sehingga berpotensi untuk pengembangan pertanian mendukung swasembada pangan nasional.
Namun sumber-sumber di luar mereka mengatakan, para pengikut Ahmad Moshaddeq sedang melakukan hijrah.
Anggota DPR RI dari daerah pemilihan Kalbar, Erma Suryani Ranik mengingatkan agar pemerintah daerah terus melakukan pemantauan terhadap eks anggota Gafatar.
"Ini penting karena saya secara pribadi mencurigai Gafatar memiliki niat tersembunyi untuk membuat bibit melawan NKRI. Saya mendapatkan informasi yang cukup valid tentang tahapan mereka dalam rangkaian mewujudkan visi misi mendirikan negara baru selain NKRI," katanya.
Erma mengatakan Kalimantan adalah lokasi tujuan utama Gafatar. Dan saat ini, mereka sedang melakukan tahapan hijrah.
Oleh Nurul Hayat
Editor: Fitri Supratiwi
Copyright © ANTARA 2016