"Selama ini definisi maupun parameter kemiskinan masih lemah, sehingga gambaran angka kemiskinan terlihat positif dibandingkan dengan kenyataannya," katanya di Yogyakarta, Kamis.
Ia mengatakan penghitungan kemiskinan secara moneter yang selama ini digunakan oleh pemerintah pada kenyataannya belum cukup menggambarkan kondisi riil kemiskinan di tingkat daerah.
"Kondisi kemiskinan hanya tergambar secara makro," kata dia.
Kondisi kemiskinan di berbagai wilayah, menurut Hadna, cukup bervariasi, baik antara desa dengan kota, Indonesia bagian barat dan timur, serta Pulau Jawa dengan luar Jawa.
Dengan demikian, menurut dia, data yang diterima tidaki dapat digeneralisasi bahwa persoalan yang dihadapi oleh setiap wilayah adalah sama.
Oleh sebab itu, kata dia, perlu kembali dilakukan pembenahan dengan mengubah parameter kemiskinan melalui penghitungan kemiskinan secara multidimensi.
Dengan demikian, katanya, hal itu mampu menggambarkan kemiskinan yang bersifat kompleks dan mewakili kondisi lokal.
Pemerintah melalui Badan Pusat Statistik (BPS), menurut dia, juga harus lebih transparan, akuntabel, dan dapat dipertanggungjawabkan.
"Ini penting karena apabila data salah, maka respons kebijakannya pun kemungkinan salah," kata dia.
Selain itu, menurut Hadna, guna mengatasi persoalan kemiskinan sekaligus ketimpangan, pemerintah sebetulnya juga dapat mendorong masing-masing daerah mengembangkan parameter kemiskinan yang lebih kontekstual dan mampu mencerminkan kondisi riil masyarakat setempat.
Parameter yang disesuaikan dengan kondisi riil daerah tersebut, kata dia, bisa lebih mudah digunakan sebagai basis data dalam pelaksanaan program-program pengentasan kemiskinan di masing-masing daerah.
Pewarta: Luqman Hakim
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016