Sydney (ANTARA News) - Australia mulai melakukan pembicaraan-pembicaraan dengan Indonesia dan Nauru mengenai nasib 85 orang pencari suaka yang diselamatkan dari Lautan Hindia, kata pemerintah Sabtu, sebagaimana dilaporkan media bahwa kelompok itu akan dikirimkan kembali ke Sri Lanka.
Pemerintah konservatif Australia, yang merupakan salah satu dari beberapa negara di dunia yang bersikap menentang imigrasi ilegal, mengatakan, pilihan-pilihan tersebut sedang diuji, tetapi bahwa kelompok pencari suaka itu tidak akan dipulangkan ke negaranya, jika mereka akan menghadapi tuntutan.
"Pembicaraan-pembicaraan pendahuluan mulai dilakukan dengan Indonesia dan Nauru," kata Menteri Luar Negeri Australia, Alexander Downer dan Menteri Imigrasi Kevin Andrews dalam pernyataan mereka.
"Sementara pemerintah sedang mempertimbangkan pilihan-pilihan, tidak ada tindakan yang akan diambil yang bisa melanggar kewajiban internasional kami," katanya.
Harian The Sydney Morning Herald melaporkan Sabtu pagi, bahwa satu kesepakatan rahasia sedang dilakukan dengan Jakarta untuk mengirim para pencari suaka itu ke Sri Lanka melalui Indonesia.
Suratkabar tersebut mengatakan, perundingan-perundingan dilakukan di suatu tempat antara wilayah hukum Indonesia dan Malaysia, dan antara pejabat-pejabat hukum dan imigrasi Australia di Jakarta, Jum`at.
Herald mengutip dutabesar Sri Lanka di Indonesia, Janaka Perera, mengatakan, bahwa Australia dan Indonesia telah berjanji untuk membantu repatriasi kelompok pencari suaka asal negaranya itu kembali ke Sri Lanka.
Pihaknya mengatakan, kelompok orang itu akan dirampas peluangnya untuk mengklaim mencari suaka, karena Indonesia tidak menandatangani Konvensi Pengungsi PBB.
Pernyataan Downer dan Andrews mengatakan, kelompok tersebut akan dipindahkan ke Pulau Christmas di sekitar kawasan Lautan Hindia Australia pada hari Sabtu, kemudian dilakukan pemeriksaan kesehatan dan diinformasikan mengenai keadaan mereka semua.
Angkatan Laut Australia menangkap kelompok orang Sri Lanka itu di dekat Pulau Christmas Selasa, demikian Reuters.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007