Jakarta (ANTARA News) - Keluarga mendiang sastrawan Sitor Situmorang berencana membangun rumah budaya di area ia dimakamkan di Sumatera Utara.
"Itu cita-cita kami," kata Gulontam Situmorang, anak lelaki tertua Sitor, usai pertunjukan instalasi teks satu tahun Sitor Situmorang "Pasar Senen, Sitor dan Harimau Tua", Rabu (20/1) malam.
Rumah tersebut akan menjadi tempat penyimpanan karya Sitor, ziarah, diskusi maupun kegiatan riset.
Sitor dimakamkan di kampung halamannya Harian Boho, tepi barat Danau Toba.
Semasa hidupnya, Gulontam menuturkan ayahnya selalu peduli pada budaya dan lingkungan karena dua hal tersebut saling berkaitan.
Salah satu yang mereka soroti adalah lingkungan Danau Toba yang kini rusak, berakar dari pergeseran budaya.
Misalnya, dulu, ada kepercayaan yang beredar di masyarakat tidak boleh bicara kotor bila berada di dekat mata air. Kini, ia melihat sampah ada di mana-mana di danau tersebut.
"Di desa harus ada kebangkitan budaya setempat dan semoga bisa jadi kekuatan reservasi lingkungan. Kekuatan itu tidak bisa ada kalau ada alasan ekonomi," kata dia.
Untuk menghormati Sitor, keluarga juga berencana mengadakan pesta rakyat akhir tahun ini selama tiga hari.
Selain membangkitkan budaya setempat, pesta tersebut juga diharapkan memiliki manfaat ekonomi bagi warga desa.
Pesta rakya tersebut akan memberikan pelatihan pada anak-anak muda di Harian Boho untuk mengenal karya seni, semisal sajak, lalu mereka akan tampil mementaskan apa yang telah mereka pelajari.
Gigi dan gusi
"Sitor dan Pasar Senen seperti gigi dengan gusi," kata ahli sejarah JJ Rizal saat memandu "Pasar Senen, Sitor dan Harimau Tua" di Taman Ismail Marzuki, Rabu (20/1) malam.
Sitor yang hijrah dari Tanah Batak ke Betawi pada usia 18 menemukan onan (pasar) di Pasar Senen, tempat berkumpul orang dari berbagai latar belakang.
Laki-laki kelahiran 1924 ini kost di daerah sana, mengayuh sepeda ke sekolah di Salemba dan buru-buru pulang untuk membaca koran hari ini yang ditempel di depan kantor harian Bintang Timur.
Jepang masuk, sekolah Sitor berantakan tapi cita-citanya tidak padam: jurnalis nasionalis.
Sitor kembali ke Pasar Senen setelah sempat tinggal di Medan dan Yogyakarta, wartawan yang berevolusi menjadi sastrawan.
Karya pertama Sitor disebut ditulis di Kaliurang, sampai Rizal menelusuri dan menemukan bahwa empat sajak pertama Sitor Situmorang berasal dari Pasar Senen dan menceritakan suasana tempat tersebut.
Kedekatan Sitor dengan Pasar Senen diangkat kembali malam itu dengan dramati reading yang menceritakan suasana pasar.
Di tengah teriakan jajaan pasar "buku... mesin tik... soto ayam... sate... kehangatan...", berlangsung diskusi politik, ekonomi, sosial hinga budaya.
Gulontam Situmorang, putra tertua Sitor, mengatakan memunculkan kembali Pasar Senen dalam peringatan setahun Sitor Situmorang meninggal.
"Supaya buah pikir orang seperti Sitor, sezaman dengan dia, berkarya dengan karya tulis, bisa digali kembali, dikenal kembali," kata Gulontam.
Pasar Senen menjadi tempat berkumpul pemuda untuk berdebat, beradu ide bahkan bertengkar di sebuah rumah makan atau di mana pun di pasar itu.
Sitor Situmorang, Ajip Rosidi, Asrul Sani, Chairil Anwar adalah beberapa nama yang besar dari Pasar Senen.
Gubernur Jakarta 1866-1977, Ali Sadikin, mencoba mereplika semangat intelektual Pasar Senen dengan membuat Taman Ismail Marzuki, yang kini menjadi wadah bagi para seniman.
Menurut Gulontam, tempat "nongkrong" seperti itu lah yang diperlukan anak muda untuk menumbuhkan semangat intelektual mereka.
"Memang itu yang diperlukan, beri tempat dan peluang untuk anak muda berkembang."
Pewarta: Natisha Andarningtyas
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2016