"Pengaruh dari Tiongkok dan Amerika Serikat menjadi sentimen utama nilai tukar rupiah mengalami depresiasi cukup dalam pada hari ini (20/1)," ujar Analis LBP Enterprise Lucky Bayu Purnomo di Jakarta.
Ia memaparkan bahwa prediksi ekonomi Tiongkok yang masih melambat akibat dana anggaran belanja modalnya yang terkoreksi akan mengganggu pertumbuhannya. Situasi itu, memicu arus modal di Tiongkok cenderung keluar sehingga menekan mata uang yuan.
"Potret Tiongkok yang negatif itu memicu pasar keuangan di kawasan Asia menjadi kurang dinamis, yang akhirnya berdampak negatif bagi nilai tukar rupiah," katanya.
Di sisi lain, lanjut dia, harga minyak mentah dunia yang masih berada dalam tren penurunan dinilai masih akan membayangi laju perekonomian Tiongkok dan negara-negara berkembang lainnya, kondisi itu menambah dorongan pelaku pasar untuk menghindar aset berisiko di negara berkembang.
Ia menambahkan bahwa beberapa data ekonomi Amerika Serikat salah satunya tingkat kemampuan produksinya yang meningkat memberi harapan laju ekonomi di negeri Paman Sam itu membaik.
"Pelaku pasar cenderung memburu aset-aset di Amerika Serikat melalui dolar AS, situasi itu yang juga menekan depresiasi rupiah cukup dalam," katanya.
Kendati demikian, Lucky Bayu Purnomo mengharapkan bahwa kebijakan Bank Indonesia yang telah memangkas suku bunga acuannya menjadi 7,25 persen dapat meredam kecemasan pasar terhadap ekonomi domestik.
"Pemangkasan BI rate diharapkan memberi ruang bagi pertumbuhan kredit di dalam negeri lebih baik, maka produk barang domestik dapat terserap sehingga menjaga optimisme pelaku apsar terhadap perekonomian domestik," katanya.
Sementara itu, kurs tengah Bank Indonesia (BI) menetapkan rupiah pada 13.896, juga melemah dibanding posisi pada hari sebelumnya Rp13.921 per dolar AS.
Pewarta: Zubi Mahrofi
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2016