"Revisi UU Pilkada untuk menghadapi Pilkada serentak tahun 2017 yang tahapannya akan dimulai bulan April dan Mei 2016 ini harus bisa menjawab berbagai macam masalah teknis pelaksanaan Pilkada serentak 2015 yang lalu," kata Wakil Ketua Komisi II DPR, Lukman Edy, di Gedung Nusantara II, Jakarta, Senin.
Dia menjelaskan, masalah teknis tersebut seperti :
Pertama, menyempurnakan akurasi daftar pemilih, karena di beberapa daerah masih ditemukan perbedaan daftar pemilih yang ada di Data Penduduk Potensial Pemilih Pemilu (DP4), Daftar Pemilih Sementara (DPS) dan Daftar Pemilih Tetap (DPT).
Kedua, menurut dia, terkait alat peraga yang diselenggarakan oleh KPU, terbukti tidak effektif sehingga perlu ada revisi karena berpengaruh terhadap tingkat partisipasi pemilih.
"Ketiga, mekanisme undangan kepada pemilih, yang masih banyak mendapat pengaduan masyarakat, perlu ada terobosan yang efektif sehingga hak warga negara mendapatkan jaminan untuk mengikuti pilkada, ini juga untuk menjawab tingkat partisipasi pemilih, tahun ini hanya 60 persen dari target 67 persen," katanya.
Dia menjelaskan, keempat, ketidaknetralan penyelenggara Pilkada di tingkat kab/kota, kecamatan dan desa sehingga cara rekruitmennya harus ditata ulang.
Kelima menurut dia, ketidaknetralan PNS dan aparatur daerah lainnya, karena itu harus ada sanksi yang tegas dan mempunyai efek jera.
"Keenam, politik uang yang melibatkan pasangan calon, tim sukses dan penyelenggara pilkada yang masih banyak terjadi. Harus ada sanksi yang tegas dan mempunyai efek jera, serta ada substansi anti politik uang," ujarnya.
Dia menjelaskan, ketujuh, soal mekanisme pemungutan suara ulang sehingga harus lebih rinci. Kedelapan, menurut dia, soal membuka ruang lebih luas kepada kader-kader bangsa untuk ikut dalam pilkada, tidak dibatasi dengan keharusan mundur bagi PNS, TNI, dan Anggota DPR/DPRD.
"Kesembilan, soal petahana yang mencalonkan kembali, perlu ada syarat-syarat untuk memberikan jaminan kualitas petahana. UU ini harus memberikan pembatasan kepada petahana yang gagal, dengan ukuran-ukuran yang objektif," katanya.
Politikus PKB itu menjelaskan, kesepuluh, memasukkan norma pasangan calon tunggal dalam UU, dan ke-11 jika memungkinkan di evaluasi kembali soal jadwal pilkada serentak, serta konsekuensi waktu setiap tahapan yang ada.
Ke-12 menurut dia, menyempurnakan kembali soal peradilan Pilkada sehingga bisa menjamin keadilan dan kebenaran.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan ada sembilan isu strategis dalam revisi UU Pilkada, pertama mengintegrasikan putusan MK misalnya terkait persyaratan atau kewajiban bagi PNS, Anggota DPR, DPRD untuk mengundurkan diri dari jabatannya sejak penetapan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.
"Persyaratan bolehnya mantan narapidana untuk maju juga demikian, kemudian soal syarat calon tunggal," kata Tjahjo di Gedung DPR.
Kedua menurut dia, mengenai pendanaan Pilkada akan dikaji lebih dalam apakah dibebankan kepada daerah atau dapat didukung APBN.
Dia mengatakan, ketiga, terkait persyaratan dukungan partai politik (parpol) diperlukan pengetatan agar tidak lagi muncul calon tunggal.
"Keempat, diperjelasnya konsep petahana dan kepala daerah. Kelima, penetapan waktu pilkada. Keenam, pemerintah juga perlu mengatur ketentuan dasar waktu pelantikan," ujarnya.
Ketujuh menurut dia, penyederhanaan proses sengketa pencalonan agar tidak ada lagi penundaan.
Dia menjelaskan, kedelapan, mengenai sosialisasi terkait partisipasi pemilih karena meski ditetapkan sebagai hari libur nasional, ternyata tingkat partisipasi masih beragam meskipun banyak faktor yang mempengaruhi partisipasi.
Kesembilan menurut dia, penegasan mengenai prosedur pengisian kekosongan jabatan.
Kedua, menurut dia, terkait alat peraga yang diselenggarakan oleh KPU, terbukti tidak effektif sehingga perlu ada revisi karena berpengaruh terhadap tingkat partisipasi pemilih.
"Ketiga, mekanisme undangan kepada pemilih, yang masih banyak mendapat pengaduan masyarakat, perlu ada terobosan yang efektif sehingga hak warga negara mendapatkan jaminan untuk mengikuti pilkada, ini juga untuk menjawab tingkat partisipasi pemilih, tahun ini hanya 60 persen dari target 67 persen," katanya.
Dia menjelaskan, keempat, ketidaknetralan penyelenggara Pilkada di tingkat kab/kota, kecamatan dan desa sehingga cara rekruitmennya harus ditata ulang.
Kelima menurut dia, ketidaknetralan PNS dan aparatur daerah lainnya, karena itu harus ada sanksi yang tegas dan mempunyai efek jera.
"Keenam, politik uang yang melibatkan pasangan calon, tim sukses dan penyelenggara pilkada yang masih banyak terjadi. Harus ada sanksi yang tegas dan mempunyai efek jera, serta ada substansi anti politik uang," ujarnya.
Dia menjelaskan, ketujuh, soal mekanisme pemungutan suara ulang sehingga harus lebih rinci. Kedelapan, menurut dia, soal membuka ruang lebih luas kepada kader-kader bangsa untuk ikut dalam pilkada, tidak dibatasi dengan keharusan mundur bagi PNS, TNI, dan Anggota DPR/DPRD.
"Kesembilan, soal petahana yang mencalonkan kembali, perlu ada syarat-syarat untuk memberikan jaminan kualitas petahana. UU ini harus memberikan pembatasan kepada petahana yang gagal, dengan ukuran-ukuran yang objektif," katanya.
Politikus PKB itu menjelaskan, kesepuluh, memasukkan norma pasangan calon tunggal dalam UU, dan ke-11 jika memungkinkan di evaluasi kembali soal jadwal pilkada serentak, serta konsekuensi waktu setiap tahapan yang ada.
Ke-12 menurut dia, menyempurnakan kembali soal peradilan Pilkada sehingga bisa menjamin keadilan dan kebenaran.
Menteri Dalam Negeri Tjahjo Kumolo mengatakan ada sembilan isu strategis dalam revisi UU Pilkada, pertama mengintegrasikan putusan MK misalnya terkait persyaratan atau kewajiban bagi PNS, Anggota DPR, DPRD untuk mengundurkan diri dari jabatannya sejak penetapan calon kepala daerah dan wakil kepala daerah.
"Persyaratan bolehnya mantan narapidana untuk maju juga demikian, kemudian soal syarat calon tunggal," kata Tjahjo di Gedung DPR.
Kedua menurut dia, mengenai pendanaan Pilkada akan dikaji lebih dalam apakah dibebankan kepada daerah atau dapat didukung APBN.
Dia mengatakan, ketiga, terkait persyaratan dukungan partai politik (parpol) diperlukan pengetatan agar tidak lagi muncul calon tunggal.
"Keempat, diperjelasnya konsep petahana dan kepala daerah. Kelima, penetapan waktu pilkada. Keenam, pemerintah juga perlu mengatur ketentuan dasar waktu pelantikan," ujarnya.
Ketujuh menurut dia, penyederhanaan proses sengketa pencalonan agar tidak ada lagi penundaan.
Dia menjelaskan, kedelapan, mengenai sosialisasi terkait partisipasi pemilih karena meski ditetapkan sebagai hari libur nasional, ternyata tingkat partisipasi masih beragam meskipun banyak faktor yang mempengaruhi partisipasi.
Kesembilan menurut dia, penegasan mengenai prosedur pengisian kekosongan jabatan.
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016