"Intelijen operasinya tertutup maka kalau diberikan kewenangan menahan dan menangkap maka akuntabilitasnya sulit diuji," katanya di Gedung Nusantara II, Jakarta, Senin.
Dia menjelaskan, penangkapan dan penahanan termasuk tindakan pro justisia sehingga kewenangan yang diberikan kepada Kepolisian yang sifat kinerjanya terbuka, akuntabilitasnya terjaga.
Menurut dia, dalam UU nomor 17 tahun 2011 tentang Intelijen Negara telah diatur bahwa apabila intelijen perlu menahan dalam proses penggalian informasi maka tinggal berkoordinasi dengan Kepolisian.
"Dalam UU Intelijen diatur kalau perlu penahanan, maka intelijen perlu koordinasi dengan Kepolisian lalu bersama-sama melakukan penangkapan," ujarnya.
Dia menjelaskan, kewenangan BIN dalam menangkap dan menahan sementara dalam proses penggalian informasi, sudah permah didiskusikan.
Menurut dia pemberian kewenangan itu tidak perlu karena kebutuhan BIN untuk menahan seseorang bisa dilakukan bersama penegak hukum.
"Sudah diatur dalam pasal 14 UU no 17 tahun 2011, disebutkan bahwa penegak hukum wajib memberikan bantuan ke BIN. Saya tidak tahu apakah dalam pelaksanaannya ada kesulitan koordinasi, itu perlu digali," katanya.
Dia menilai kejadian pengeboman di Jalan MH Thamrin pada Kamis (14/1) pasti ada koordinasi antara BIN dan aparat Kepolisian, namun efektifitasnya seperti apa harus digali lebih dalam.
Politikus PKS itu menilai intelijen dan Badan Nasional Penanggulangan Terorisme (BNPT) sudah memiliki peta lengkap terorisme seperti nama-nama terduga teroris namun mengapa peristiwa itu masih tetap terjadi.
"Bahrun Naim bukan nama baru dan sudah ada dalam radar namun mengapa bisa terjadi peristiwa itu," ujarnya.
Dia mengatakan peristiwa pengeboman itu terjadi apakah soal kewenangan yang diatur dalam regulasi mengantisipasi kurang atau efektifitas penggunaan kewenangannya.
Pewarta: Imam Budilaksono
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2016