Jakarta (ANTARA News) - Mantan Sekretaris Jenderal Departemen Kelautan dan Perikanan Andin H Taryoto (53) diancam hukuman maksimal 20 tahun penjara atas dakwaan korupsi dengan cara menyalahgunakan jabatannya untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain. Jaksa Penuntut Umum pada Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam persidangan yang berlangsung di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, di Jakarta, Jumat, memaparkan terdakwa selama menjabat sebagai Sekjen DKP sejak 2002 hingga 2006 telah memaksa para pejabat eselon I dan Kepala Dinas Kelautan dan Perinakan seluruh Indonesia menyediakan sejumlah uang. "Terdakwa melakukan perbuatan melawan hukum dengan menyalahgunakan wewenangnya memaksa para pejabat eselon I dan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan se-Indonesia memberikan sesuatu yaitu uang yang keseluruhannya mencapai Rp15,924 miliar," kata JPU Tumpak Simanjuntak saat membacakan surat dakwaan setebal 50 halaman. Dipaparkannya, hal tersebut diawali pada rapat pimpinan 20 Februari 2002 di ruang rapat Menteri Kelautan dan Perikanan yang dipimpin oleh Menteri Rokhmin Dahuri dan dihadiri oleh seluruh pejabat eselon I hingga II. "Dalam rapat itu Rokhmin menyampaikan permintaan kepada para pejabat eselon I agar memikirkan dan mengumpulkan dana untuk menunjang kegiatan menteri yang tidak dianggarkan dalam APBN," ujar JPU. Untuk menindaklanjuti instruksi tersebut maka ditunjuk terdakwa sebagai koordinator pengumpulan dana. Andin kemudian, masih menurut JPU, menyampaikan kepada pada peserta rapat agar pejabat eselon I memberikan dana sebesar satu persen dari dana pembangunan yang ada di unit kerja masing-masing. "Terdakwa juga hadir pada 31 Mei 2002 dalam rapat koordinasi nasional di Hotel Indonesia yang dihadiri semua kepala dinas kelautan dan perikanan di mana Rokhmin Dahuri meminta agar para kepala dinas mengumpulkan dana yang berasal dari dana dekonsentrasi," kata anggota tim JPU lainnya Agus Salim. Andin dalam posisi sebagai Sekjen DKP kemudian dalam pertemuan itu menyampaikan penekanan agar masing-masing kepala dinas memberikan dana satu persen dari dana dekonsentrasi untuk kepentingan menteri. "Kepala Biro Keuangan Sumali, Bambang DWI Hartoyo dan Charles Bohlen Purba kemudian ditunjuk untuk membukukan dan menyimpan dana-dana yang telah dimintakan tersebut," kata Agus Salim. Realisasi dari permintaan tersebut antara lain pada 2002 dari Direktur Perikanan Budidaya sebesar Rp25 juta, Direktur Jenderal Pengolahan dan Pemasaran Hasil Perikanan Rp10 juta, Kepala Pusat Karantina Ikan Rp100 juta dan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Sulawesi Selatan Rp100 juta. Hal tersebut berlanjut hingga Januari 2006, kondisi itu terjadi karena para pejabat eselon I dan Kepala Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi se-Indonesia secara psikis terpaksa memberikan uang tersebut kepada terdakwa karena kekuasaan sehubungan kedudukan atau jabatan terdakwa dan juga kedudukan Menteri Perikanan dan Kelautan saat itu Rokhmin Dahuri. "Terdakwa melaporkan seluruh pemberian yang telah diterimanya tersebut kepada Rokhmin Dahuri dan keseluruhan uang yang berhasil diterima dari pemberian itu digunakan untuk kepentingan pribadi maupun diberikan kepada orang lain sesuai keinginan Rokhmin Dahuri," kata JPU saat membacakan dakwaan. Atas perbuatannya Andin dinilai melanggar hukum sesuai pasal 12 huruf e UU nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 jo pasal 55 ayat (1) kesatu jo pasal 65 ayat (1) KUHP pada dakwaan pertama. Selain itu juga terdakwa dinilai melanggar hukum sesuai pasal 11 UU nomor 31 tahun 1999 sebagaimana diubah dengan UU nomor 20 tahun 2001 jo pasal 55 ayat (1) kesatu jo pasal 65 ayat (1) KUHP pada dakwaan kedua. Menanggapi surat dakwaan tersebut, penasehat hukum Andin, Marthen Pongrekun, Jhon Sumbule, Dudung Badrun dan Rochana S Rahayu langsung membacakan eksepsi atas nama terdakwa. Dalam eksepsinya penasehat hukum menilai bahwa surat dakwaan JPU harus ditolak karena tidak memasukkan kaidah hukum administrasi negara dalam perkara itu. Penasehat hukum juga menilai tidak mungkin Andin yang saat itu pejabat eselon I A dapat menekan pejabat eselon I lainnya, oleh karena itu mereka menilai JPU tidak mempunyai alasan yang kuat dalam surat dakwaan. Dengan demikian mereka meminta pada majelis hakim yang diketuai oleh Masrurdin Chaniago untuk menolak surat dakwaan, membebaskan terdakwa dan juga menyatakan pengadilan Tipikor tidak berhak mengadili perkara tersebut.(*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007