Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Australia mencurigai beberapa dari 85 orang "manusia perahu" yang ditahan otoritas negara itu setelah perahu yang mereka tumpangi ditangkap Kapal HMAS Success, Selasa (20/2) di perairan dekat Pulau Christmas, adalah "pencari suaka" asal Indonesia. Kecurigaan itu diungkapkan Menteri Imigrasi Kevin Andrews berdasarkan apa yang disebutnya "beberapa petunjuk" tanpa menjelaskan apa saja indikasi-indikasi yang dimaksud, demikian The Australian memberitakan, Jumat. Kedatangan 85 orang yang dicurigai Pemerintah Australia sebagai pencari suaka itu adalah kasus kedua dalam dua tahun terakhir setelah kasus 43 orang Indonesia asal Papua yang tiba di daratan Australia Januari 2006 yang memicu insiden diplomatik kedua negara. Surat kabar nasional Australia itu menyebutkan ke-85 orang pencari suaka yang semuanya lelaki itu mengaku berasal dari Sri Lanka, namun ada beberapa yang dicurigai justru berasal dari Indonesia. Mereka telah dipindahkan ke Kapal HMAS Success, Rabu (22/2). Perdana Menteri Australia John Howard mengatakan para pencari suaka dapat dikirim ke pusat penahanan Australia di Nauru untuk diproses. Kebijakan Canberra yang tegas dan keras dengan mengirim para pencari suaka itu ke Nauru tidak berubah, kata Howard. Hubungan Australia dan Indonesia pernah memanas tahun lalu setelah pemerintahan Howard melalui Departemen Imigrasi Australia (DIMIA) memberikan visa menetap sementara kepada 42 dari 43 warganegara Indonesia asal Provinsi Papua yang tiba dengan perahu di pantai utara negara benua itu pertengahan Januari 2006. Duta Besar RI untuk Australia dan Vanuatu, TM Hamzah Thayeb, sempat ditarik ke Jakarta beberapa bulan sebagai bentuk protes atas pemberian visa tersebut. Menanggapi kebijakan Canberra yang memberikan visa kepada 42 dari 43 pencari suaka dari Papua itu, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono mengatakan, keputusan tersebut tidak tepat, tidak realistis, dan cenderung sepihak karena Papua adalah bagian yang sah dari Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah Indonesia, katanya ketika itu, tidak akan memberikan toleransi apa pun kepada elemen-elemen di negara mana pun, termasuk Australia yang nyata-nyata memberikan dukungan dan bermain untuk sebuah gerakan separatis yang ada di Papua. Hubungan kedua negara kembali membaik setelah pertemuan PM Howard dan Presiden Yudhoyono di Batam, Juni 2006. Hubungan kedua negara pernah mengalami kemunduran dan bahkan mencapai titik nadir(terendah) setelah Pemerintahan Howard terlibat aktif dalam upaya pemisahan Timor Timur dari NKRI tahun 1999. (*)

Copyright © ANTARA 2007