Gafatar dibentuk karena keprihatinan kondisi bangsa yang sudah rusak, terbukti individualisme, materialisme, korupsi, dan sebagainya, sehingga Gafatar ingin mengajak untuk bergabung bisa mengabdikan diri dengan negeri, seperti aksi sosial."

Surabaya (ANTARA News) - Mantan Kepala Bidang Kesehatan Gafatar (Gerakan Fajar Nusantara) Jawa Timur, dr Budi Laksono, bersama Mantan Ketua Dewan Pimpinan Gafatar Surabaya, Riko, menyebut organisasi yang diikutinya hanya merupakan gerakan sosial dan budaya yang tidak berhubungan dengan agama.

"Saya di sini menegaskan bahwa Gafatar merupakan organisasi kemasyarakatan yang bergerak di bidang sosial dan budaya, jadi tidak ada sangkut pautnya dengan organisasi keagamaan, apalagi Islam," kata dr Budi Laksono kepada pers di Surabaya, Rabu.

Ia mengatakan Gafatar lahir sejak 2011, kemudian dibubarkan oleh Gafatar Pusat pada bulan Agustus 2015 karena masih belum ada Surat Keterangan Terdaftar (SKT) dari Departemen Dalam Negeri (Depdagri).

"Selain karena tidak terdaftar, pembubaran Gafatar juga dikarenakan menyongsong kehidupan baru yang lebih baik lagi sebagai upaya perbaikan pangan, karena diperkirakan akan terjadi paceklik di Indonesia, sehingga kami digerakkan di bidang pertanian, perikanan dan peternakan," paparnya.

Ia mengakui nama sebelum berganti menjadi Gafatar adalah Komar (Komunitas Millah Abraham) dan nama sebelumnya lagi adalah Al-Qiyadah Al-Islamiyyah, namun semuanya tidak ada perbedaan, kecuali berganti nama saja.

"Untuk Komar dan Al-Qiyadah, saya belum memahami bidang gerakannya, karena saya baru bergabung pada 2008. Yang jelas, Gafatar tidak terkait keagamaan, tetapi gerakan kami sesuai petunjuk Tuhan Yang Maha Kuasa, yaitu Al-Quran dan firman Tuhan bahwa kamu harus mengimani kitab-kitab suci terdahulu seperti zabur, taurat, maupun injil untuk menuntun jalan hidup di muka bumi," tuturnya.

Senada dengan itu, Mantan Ketua Dewan Pimpinan Gafatar Surabaya, Riko menjelaskan Gafatar dibentuk oleh gagasan dari sekitar 50 orang karena keprihatinan dengan kondisi bangsa saat ini yang mentalnya sedang rusak.

"Gafatar dibentuk karena keprihatinan kondisi bangsa yang sudah rusak, terbukti individualisme, materialisme, korupsi, dan sebagainya, sehingga Gafatar ingin mengajak untuk bergabung bisa mengabdikan diri dengan negeri, seperti aksi sosial," ungkapnya.

Pihaknya mengajak bangsa bergotong royong kembali dengan sosialisasi ke kampung-kampung untuk belajar mengabdi kepada negeri ini, namun kegiatannya dinilai negatif oleh beberapa pihak.

"Anggota Gafatar di Jatim sebanyak 945, sedangkan di seluruh Indonesia sekitar 10 ribu. Kegiatan kami mengajak aksi sosial, namun celakanya negeri ini seperti kurang senang. Sampai pada tahun 2015, Gafatar belum mendapat SKT dari pusat dan bubar," tandasnya.

Secara terpisah, Pimpinan Lembaga Penelitian dan Pengkajian Islam, Jakarta, M. Amin Djamaluddin, menunjukkan hasil penelitian yang "mementahkan" pandangan bahwa Gafatar merupakan gerakan sosial. Hasil penelitiannya menemukan bahwa Gafatar adalah nama (baju) baru dari Al-Qiyadah Al-Islamiyyah dan Komar (Komunitas Millah Abraham).

"Mereka berganti nama setelah nabi Ahmad Moshaddeq menyerahkan diri ke Polda Metro Jaya pada 29 Oktober 2007 dan divonis oleh Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada 23 April 2008 dengan hukuman empat tahun penjara," katanya di Jakarta (11/1).

Pergantian nama itu diputuskan dalam rapat pengurus lengkap di Jalan Raya Puncak KM 79, Cisarua, Bogor, Jawa Barat, 12 September 2009, bukan tahun 2011 atau 2008. Dengan nama baru itu, mereka melakukan kegiatan sosial di mana-mana di seluruh Indonesia.

"Namun, inti ajarannya masih tetap bersumber kepada nabi Ahmad Moshaddeq. Sumber ajaran sebenarnya ada pada buku-buku asli tulisan Ahmad Moshaddeq dan buku tulisan Ketua Umum Gafatar, Mahful Muis Hawari, yang berjudul Teologi Abraham Membangun Kesatuan Iman, Yahudi, Kristen dan Islam," katanya.

Pewarta: Indra Setiawan dan Laily Widya
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2016