Jakarta (ANTARA News) - Proyek kereta api cepat (high speed tradin/HST) Jakarta-Bandung menjadi alat diplomasi antara Indonesia dan Tiongkok dalam mengejar prospek bisnis lebih panjang kedua negara.
"Proyek infrastruktur kereta cepat buatan Tiongkok bisa jadi pintu pembuka untuk proyek lainnya. Pembangunan itu diyakini sebatas komoditi dalam hubungan bilateral Indonesia-Tiongkok," kata Direktur Eksekutif Infrastructure Partnership & Knowledge Center (IPKC) Harun Alrasyid Lubis di sela diskusi "Pembangunan Kereta Cepat Jakarta-Bandung: Kebutuhan atau Pencitraan?", Senin.
Menurut Harun, sejak awal perencanaan kereta api cepat Jakarta-Bandung sepanjang sekitar 150 km ini sudah menjadi semacam polemik di sejumlah kalangan, apakah menggunakan teknologi Jepang atau Tiongkok. Proyek ini juga dikaitkan dengan pendanaan yang menelan biaya hingga Rp70 triliun.
"Sebelum Tiongkok resmi ditunjuk sebagai pihak yang membangun proyek tersebut, ada kompetisi dengan Jepang. Bahkan sempat dibanding-bandingkan dengan teknologi dari Eropa," ujarnya.
Namun, khusus Tiongkok, saat ini memang cukup besar menguasai pangsa pasar kereta cepat di sejumlah benua.
"Jepang-Tiongkok memang bersaing. Meskipun Tiongkok baru berkisar 10 tahunan, Jepang lebih dari 25 tahun, namun separuh jaringan kereta api cepat dunia dari Tiongkok, 16.000 kilometer," tegas Harun.
Dosen ITB ini menambahkan, melemahnya laju perekonomian Tiongkok membuat ada kelebihan kapasitas produksi. Tiongkok lalu mengirim konsultan ke beberapa negara untuk mengerjakan proyek infrastruktur.
"Mereka punya kapasitas besar, produksi mereka, mereka kirim konsultan termasuk ke Indonesia," ujar Harun.
Proyek kereta api cepat mengawali pembangunannya bulan ini dan selesai pada 2018. Proyek ini dibayai sebagian besar oleh China Development Bank (CDB) dengan skema pembagian 75 persen CDB, dan sisanya ekuitas dua perusahaan konsorsium dari PT Pilar Sinergi BUMN dan PT China Railways International Co, Ltd.
Dengan skema perusahaan patungan di PT Pilar Sinergi BUMN terdiri atas empat perusahaan BUMN, masing-masing PT Wijaya Karya mendapat jatah ekuitas 38 persen, PT Jasa Marga 12 persen, PT KAI 25 persen, dan PT Perkebunan Nusantara VII 25 persen.
"Semuanya mengklaim sudah siap. Dari sisi pendanaan, harus ada kontrak yang jelas antara korporasi, pengembang dan pemerintah. Urusan infrastruktur itu hanya ada dua, cost (biaya) dan resiko," ujar Harun.
Menurut Harun, siapa pun yang mengelola --apakah swasta, pemerintah atau gabungan keduanya-- harus efisien dalam biaya.
Pewarta: Royke Sinaga
Editor: Jafar M Sidik
Copyright © ANTARA 2016