Jakarta (ANTARA News) - Sejumlah Undang-Undang (UU) yang menyangkut bidang Hak Kekayaan Intelektual (HKI) perlu segera direvisi mengingat pesatnya perkembangan dunia teknologi dan perekonomian saat ini, kata Wakil Ketua Indonesian Intellectual Property Society (IIPS), Dwi Anita Daruherdani SH LLM. Dari sejumlah UU di bidang HKI, yang sudah sangat mendesak untuk direvisi adalah UU No. 15 tahun 2001 tentang Merek, UU No. 31 tahun 2001 tentang Desain Industri dan UU No. 19 tahun 2002 tentang Hak Cipta, kata Managing Partner pada kantor pengacara Kristianto Daruherdani Widodo tersebut di Jakarta, Kamis. Di bidang UU Merek, menurut Dwi Anita, perlu diperhatikan tambahan ketentuan mengenai perlindungan atas merek terkenal sehingga para pemilik merek terkenal--baik asing maupun lokal--merasa nyaman untuk berbisnis di Indonesia. Dikatakan, UU Merek memang memberikan kewenangan kepada Direktorat Jenderal Hak Kekayaan Intelektual (Ditjen HKI) untuk menolak setiap permohonan pendaftaran merek yang mempunyai persamaan dengan merek terkenal milik pihak lain. Namun ketentuan tersebut hanya berlaku untuk barang atau jasa yang sejenis , sementara untuk barang atau jasa yang tidak sejenis masih menunggu peraturan lebih lanjut sebagaimana disebutkan dalam UU Merek. Selama ini, apabila ada permohonan pendaftaran merek yang diajukan mempunyai persamaan dengan merek terkenal milik pihak lain, walaupun barang atau jasanya tidak sejenis maka Ditjen HKI akan menolak permohonan tersebut. Penolakan itu didasarkan pada ketentuan yang mengatur mengenai ketertiban umum, karena terdapatnya satu merek yang sama milik dua pihak yang berbeda. Berdasarkan ketentuan pasal tersebut, bila terdapat merek yang sama walaupun barang atau jasanya tidak sejenis, dapat dikategorikan mengganggu ketertiban umum. Namun, menurut Dwi Anita, Undang-Undang Merek tidak mempunyai ketentuan yang menjamin pemakaian merek yang sama dengan merek terkenal untuk jenis barang atau jasa yang berbeda. "Sebagai contoh merek Teh Botol yang sudah dikenal sebagai produk minuman teh. Apabila ada pihak lain yang menggunakan merek yang sama untuk televisi, sementara pemilik merek Teh Botol tidak mempunyai pendaftaran merek sama untuk televisi maka pemilik merek Teh Botol tidak mempunyai langkah hukum apa pun terhadap pihak lain yang menggunakan merek Teh Botol tersebut," katanya. Tentunya pemilik merek produk minuman itu akan merasa lega apabila UU Merek memuat aturan pidana terhadap pemakaian atas merek untuk televisi oleh pihak lain demi menjaga nama baik dan reputasinya sebagai suatu perusahaan dengan mutu barang yang baik, katanya. UU Desain Industri Dwi Anita mengatakan, revisi juga perlu dilakukan pada UU Desain Industri terutama menyangkut pada proses pendaftarannya di Ditjen HKI demi menjamin bahwa semua desain industri yang terdaftar di dalam Daftar Umum Ditjen HKI telah memenuhi persyaratan kebaruan yang ditentukan dalam UU itu. UU Desain Industri mempersyaratkan desain industri yang dapat didaftarkan adalah desain industri yang benar-benar baru dalam arti belum pernah diungkapkan sebelumnya. Padahal apabila masyarakat melihat desain industri yang terdaftar di Ditjen HKI, banyak ditemukan desain yang sudah sering ada di pasaran namun masih tetap memperoleh perlindungan. Hal ini tentu saja bertentangan dengan UU tersebut yang mempersyaratkan adanya kebaruan dari suatu desain industri, katanya. Kejadian seperti itu bukan disebabkan kecerobohan Ditjen HKI namun karena memang Ditjen HKI tidak diberikan wewenang oleh Undang-Undang Desain Industri untuk melakukan pemeriksaan substantif atas suatu permohonan desain industri sepanjang tidak ada pihak lain yang berkeberatan terhadap permohonan bersangkutan. "Demi menjamin kepastian tentang ketentuan kebaruan suatu desain industri, sudah selayaknya apabila Undang-Undang Desain Industri memberikan kewenangan kepada Ditjen HKI untuk melakukan pemeriksaan substantif atas suatu permohonan desain industri terlepas dari ada tidaknya keberatan dari pihak lain," katanya. Sementara itu untuk Undang-Undang Hak Cipta, permasalahan yang marak muncul belakangan ini adalah isu mengenai royalti atas lagu-lagu yang dijadikan sebagai nada sambung pribadi (ring tones) dan nada tunggu pribadi (ring back tones). Selama ini pihak perusahaan rekaman merasa mempunyai hak untuk memberikan izin kepada operator telepon selular untuk menggunakan lagu-lagu tersebut sebagai ring tones maupun ring back tones. Sementara itu di pihak lain, pencipta merasa bahwa perusahaan rekaman tidak berhak untuk melakukan hal itu disebabkan bahwa izin yang diberikan kepada perusahaan rekaman hanyalah terbatas pada hak untuk memperbanyak lagu-lagu ke dalam bentuk kaset dan CD/VCD/DVD, bukan ke dalam bentuk lainnya. Namun kemajuan teknologi menyebabkan bahwa keuntungan yang bisa diperoleh atas suatu lagu bukan hanya semata-mata dari penjualan kaset/CD/VCD/DVD tapi juga melalui ring tones dan ring back tones. Sudah selayaknya apabila Undang-Undang memang selalu direvisi untuk mengikuti perkembangan teknologi demi menjamin kepastian hukum baik bagi pencipta lagu, perusahaan rekaman, operator telepon selular maupun perusahaan-perusahaan lain yang terkait dengan memberikan ketentuan mengenai mechanical right (hak untuk merekam dan merilis suatu lagu) dan digital right yakni sistem pendekatan pada perlindungan hak cipta atas digital media yang dimaksudkan untuk menghalangi pendistribusian suatu hak cipta dengan tanpa hak melalui digital media. Apabila Undang-Undang Hak Cipta mengatur mengenai mechanical right dan digital right maka dapat dipastikan bahwa setiap pihak yang terkait, termasuk di dalamnya adalah pencipta lagu, perusahaan rekaman dan operator telepon seluler, mempunyai kepastian hukum apa yang menjadi haknya dan apa yang dapat dituntut atas haknya tersebut, katanya.
Pewarta:
Copyright © ANTARA 2007