"Legalitas memberi kepastian hukum. Kalaupun tidak ada legalitas, konsumen bisa menuntut bila dirugikan," kata Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Huzna Zahir, kepada ANTARA News, Kamis.
Kendati begitu, menurut dia, dalam hal ini yang penting ialah penyedia jasa pengobatannya ada.
"Yang penting penyedia jasa/pengobatannya ada. Yang mungkin bisa menjadi masalah ialah bukti kerugiannya bagaimana," tutur dia.
Pemerintah sebenarnya telah mengatur soal pengobatan alternatif melalui Peraturan Menteri Kesehatan RI Nomor 1109/Menkes/Per/IX/2007 tentang Penyelenggaraan Pengobatan Komplementer-Alternatif di Fasilitas Pelayanan Kesehatan.
Dalam peraturan itu disebutkan bahwa pengobatan komplementer-alternatif merujuk pada pengobatan non konvesional yang bertujuan meningkatkan derajat kesehatan masyarakat. Upaya yang dilakukan bersifat promotif, preventif, kuratif dan rehabilitatif.
Mereka yang bisa mempraktikan pengobatan ini merupakan tenaga kesehatan yang telah memiliki Surat Izin Praktik/Surat Izin Kerja untuk melaksanakan pekerjaan tenaga pengobatan komplementer-alternatif.
Mengomentari soal pengobatan alternatif, spesialis kedokteran fisik dan rehabilitasi dari Flexfree Musculoskeletal Rehabilitation Clinic, dr Ferius Soewito menyarankan calon pasien meneliti latar belakang terapis dan efektivitas pengobatan yang akan dijalani.
"Saran saya, sebelum memutuskan melakukan terapi alternatif, tetap harus diteliti dulu latar belakang yang melakukan terapi. Bila terapis berasal dari luar negeri, memang agak sulit karena harus ditrace bagaimana latar belakangnya di negara asal. Perlu juga dicari tahu bagaimana efektivitas terapi tersebut," kata dia.
Efektivitas terapi bisa dilihat melalui berbagai penelitian yang telah dilakukan berbagai pihak. Selain itu, sebaiknya berkonsultasi dulu dengan dokter bila ingin menjalani pengobatan alternatif tertentu.
"Testimonial beberapa orang tidak bisa dijadikan patokan karena umumnya, yang gagal jarang memberikan testimonial, makanya testimonial banyak yang bicara keberhasilan, bukan kegagalan," tutur dia.
Pewarta: Lia Wanadriani Santosa
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016