Jakarta (ANTARA News) - "Meksiko suatu negara yang jauh dari Tuhan, namun sangat dekat dengan Amerika Serikat".
Adagium itu disampaikan oleh Joseph E Stiglitz, pemenang nobel ekonomi (Making Globalization work, 2006) sebagai kritik terhadap kegagalan pembentukan pasar bebas, khususnya pembentukan pasar bebas di kawasan utara Amerika, North America Free Trade Agreement (Nafta).
Sebelum bergabung dengan Nafta, jumlah penduduk miskin Meksiko relatif rendah. Namun setelah bergabung jumlah kemiskinanjustru pengangguran dan lonjakan emigran terus naik.
Degan kondisi sosial dan ekonomi kian memburuk, muncullah "celotehan" sebagian warga Meksiko yang berujar, nampaknya Tuhan lebih dekat dengan warga AS ketimbang dengan orang Meksiko, mengingat jumlah pendapatan warga AS enam kali lipat lebih tinggi dibanding warga Meksiko.
Menurut Stiglitz, yang menangguk keuntungan dalam pasar bebas itu hanyalah negara yang secara teknologi, permodalan dan SDM-nya sudah siap, sehingga AS dan Kanada yang menangguk keuntungan dalam perdagangan Nafta itu lantaran kedua negara tersebut jauh lebih siap ketimbang Meksiko.
Indonesia yang bergabung dengan MEA tentu tidak ingin seperti Meksiko, karena dalam memasuki pasar bebas ditingkat ASEAN/ASEAN Free Trade Area itu, Indonesia seharusnya jauh lebih siap ketimbang ddan Vietnam.
Tanggal 31 Desember 2015 telah berlalu dan kini memasuki babak baru tahun 2016. Tidak ada upacara hingar-bingar bahwa Indonesia pada 1 Januari tahun ini sebagai anggota ASEAN resmi ikut melaksanakan deklarasi berlakunya MEA 2016.
Tantangan yang sudah tampak nyata, adalah lemahnya sumber daya manusia, tingkat pendidikan relatif rendah dan belum semua adanya ukuran baku tentang kompetensi kerja yang sesuai dengan bidangnya. Selain itu sektor perdagangan juga masih banyak mengalami defisit dengan sesama anggota. Akibatnya, ketergantungan impor terhadap barang dan jasa Indonesia masih tinggi.
Diluar itu, pemerintah juga belum menyiapkan perangkat hukum yang responsif dengan pasar global meskipun semua pihak sudah mengerti bahwa tahun ini MEA dilaksanakan.
Menilik laporan Bank Dunia yang diumumkan tahun 2014 (Alfian, 2015) dengan menggunakan paritas daya beli (PPP) dolar internasional, ekonomi ASEAN menyumbang enam persen terhadap PDB global.
Hal ini menjadikan ASEAN sebagai blok ekonomi terbesar kelima di dunia setelah NAFTA (20 persen), UE (17 persen), China (16 persen), dan India (tujuh persen). Sedangkan dari sisi internal, ASEAN termasuk rawan krisis keuangan.
Krisis di kawasan ASEAN pada 1997/1998 juga memberikan motivasi lebih lanjut terhadap agenda integrasi regional guna membangun ketahanan sektor keuangan lebih kuat dibanding sebelum bergabung.
ASEAN juga memiliki pertumbuhan kelas menengah berusia muda cukup pesat yang dapat memberikan sumber pertumbuhan baru di kawasan ini. Sebagai negara dengan ekonomi paling besar di ASEAN, dengan sekitar 40 persen dari PDB ASEAN, dan hampir setengah dari populasi ASEAN, Indonesia merupakan aktor penting dalam MEA yang akan berlangsung ini.
Namun jika mencermati data Badan Pusat Statistik per Oktober 2014, Indonesia sudah mengalami defisit dagang dengan Thailand yang mencapai 3,36 miliar dolar AS.
Jumlah itu bukan kecil dan itu nampaknya akan terus naik tahun ini saat MEA sudah dilaksanakan.
Penilaian dari Global Competitiveness Index, Indonesia juga menempatkan posisi Indonesia kurang menguntungkan. Indonsia berada pada posisi ke-38 dari 148 negara, tertinggal jauh dari Singapura yang menempati posisi ke 2, Malaysia di posisi ke 24, dan Thailand di posisi 37. Dengan data itu, pemerintah dalam waktu dekat ini seyogianya segera berbuat nyata agar keberadaan MEA tidak menjadi petaka bagi bangsa Indonesia.
Menekan kemiskinan
Jumlah penduduk miskin Indonesia pada awal memasuki MEA mencapai 28,51 juta jiwa atau 11, 13 persen per September 2015. Secara bertahap, jumlah itu menurun dari posisi 28,59 juta atau 11,22 persen pada bulan Maret tahun sama, namun mengalami kenaikan sebesar 780 ribu jika dibanding tahun 2014.
Pemerintah Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Jusuf Kalla telah berjanji akan bersungguh-sungguh menekan angka kemiskinan itu lewat distribusi pendapatan yang lebih adil, pembangunan yang lebih fokus dan pembuatan perundang-undangan yang lebih memihak kepada publik dibanding kepada segelintir pengusaha.
Selain itu, pemerintah perlu mengoptimalkan penyerapan anggaran pada tahun ini. Lambatnya penyerapan angaran tahun 2015 jangan sampai terulang karena hingga semester dua, penyerapan anggaran tidak sampai 60 persen dari total anggaran sekitar Rp1.800 triliun mengakibatkan banyak pembangunan infrastruktur menjadi stagnan atau mandeg, lapangan pekerjaan tertutup dan otomatis akan membuka jumlah angka kemiskinan.
Hal itu juga disebabkan birokrasi yang kurang fleksibel, dan persepsi hukum yang belum sama antara para penegak hukum dengan pimpinan proyek. Dengan begitu, memasuki MEA ini, pembuatan hukum yang responsif terhadap pasar perlu juga segera diwujudkan.
Dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah tahun 2015-2019 Pemerintah berjanji akan memprioritaskan pembentukan hukum yang mampu meningkatkan daya saing bangsa dan meningkatkan kesadaran hukum disegala bidang.
Maksud dari target itu, pemerintah sudah mengantisipasi MEA, karena jika ada produk hukum yang antipasar, maka justru akan menjauhkan para investor atau tujuan ikut MEA tidak tercapai.
Pemerintah menyadari, pembuatan produk hukum yang ada selama ini, masih dipengaruhi oleh sistem hukum civil law, yang semangatnya masih seperti kolonial. Ciri hukum seperti itu, belum bersifat ramah terhadap lingkungan, belum mengadopsi keinginan pasar, dan hanya menguntungkan pihak tertentu, bahkan negara seolah diangap "tidur" dan diposisikan hanya sebagai satpam.
Oleh karena itu, pembuatan hukum kedepan harus mampu menyerap aspirasi rakyat, atau tepatnya, menempatkan Pancasila sebagai "Grundnorm" atau norma dasar atau sumber dari segala sumber hukum di Indonesia.
Dengan begitu, keberadaan hukum dengan menempatkan Pancasila sebagai landasan utama, akan mampu beradaptasi dengan masyarakat ASEAN lainnya karena jiwanya bersifat religius, adil dan terbuka.
Selama ini masyarakat tidak percaya kepada hukum karena mereka punya persepsi bahwa hukum dibuat atas kehendak para pemilik modal yang bekerja sama dengan para penguasa.
Produk hukum yang tidak berkeadilan, akan berujung pada naiknya jumlah kemiskinan, karena adanya distribusi yangtidak merata, sehingga keikutsertaan MEA justru bisa bersifat kontraprooduktif jika rakyat bersama pemerintah tidak segera berbenah diri.
*Laksanto, adalah Dekan FH Unniversitas Sahid Jakarta, dan Theo Yusuf, pengajar hukum di Univdersitas yang sama.
Oleh Dr. Laksanto Utomo dan Theo Yusuf *
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2016