Jakarta (ANTARA News) - Pemerintah Pusat dan Pemprov DKI Jakarta perlu mencermati kembali kebijakannya dalam penanganan banjir dengan memperhatikan data dan informasi yang akurat dan konsisten, termasuk kemungkinan memberi perhatian pada desain tata ruang yang dibuat Belanda dan PBB mengenai tata ruang Ibukota dan sekitarnya. Demikian disampaikan anggota Fraksi PDIP DPR dari daerah pemilihan DKI Jakarta, Effendi Mara Sakti, di Gedung DPR/MPR Jakarta, Rabu, berkaitan dengan persoalan banjir di Ibukota dan sekitarnya. Effendi mengungkapkan Belanda pernah menyusun desain tata ruang untuk Ibukota pada tahun 1919. Desain itu diselesaikan sekitar tahun 1030-an. Desain itu sudah sedemikian lengkap dengan memperhatikan berbagai aspek. Bahkan Belanda telah membangun drainase-drainase dan situ-situ untuk menyerap air. "Drainase, situ dan resapan-resapan air termasuk pintu-pintu air masih berguna sampai saat ini. Sayangnya, desain tata ruang itu tak secara konsisten dilaksanakan pemerintah sampai saat ini. Bahkan penanganan banjir di Ibukota masih mengandalkan sarana yang dibuat Belanda," katanya. Effendi mengemukakan Banjir Kanal Timur dan Barat merupakan desain Belanda yang semestinya kalau ingin diwujudkan sudah sejak dulu, bukan saat ini ketika banjir sudah sedemikian parah. "Sekarang dialokasikan Rp1,4 triliun, itu juga masih sangat diragukan karena untuk mengantisipasi banjir secara komprehensif membutuhkan setidaknya Rp5 triliun yang digunakan untuk membangun situ-situ, drainase dan kanal-kanal," katanya. Jika tanpa ada langkah yang komprehensif, dana Rp1,4 triliun itu juga tidak akan optimal untuk mengatasi banjir mengingat baru sebagian yang bisa dibangun dengan dana tersebut. Mengenai tata ruang, politisi berdarah Batak bermarga Simbolon yang lahir di Banjar (Kalimantan Selatan) ini mengemukakan sudah menjadi rahasia umum bahwa tata ruang di Ibukota kacau balau. Kawasan yang mestinya menjadi resapan air, justru dijadikan pusat bisnis atau perkantoran. Jalur hijau juga sudah sebagian besar dibabat habis. Begitu juga bantaran sungai sudah dipenuhi rumah-rumah yang akan mempersempit 13 sungai yang melintasi Jakarta. Belanda merancang bahwa Jakarta hanya dihuni sekitar 900 ribu orang. Namun kenyatannya lebih 8 juta orang. Artinya, dengan jumlah penduduk yang sangat padat, maka daerah resapan akan menjadi "korban". Untuk mengatasi persoalan ini, diperlukan kerja sama menyusun tata ruang. Dalam kaitan ini, Effendi yang juga ketua Pansus RUU tentang Ibukota mengingatkan perlunya konsep megapolitan yang hanya mengatur tata ruang, tetapi bukan menyentuh kekuasaan politik. megapolitan diurus oleh pejabat setingkat menteri dan di bawah langsung Presiden. Namun effendi tidak bisa memastikan kapan konsep megapolitan ini terwujud karena pemerintah pun belum memberi respon ketika DPR mengusulkan RUU inisiatif mengenai ibukota. (*)
Copyright © ANTARA 2007