"Saya di sini untuk mempertahankan monumen perdamaian ini," kata Jung Woo Ryung, yang berusia 22 tahun, mendeklarasikan hal itu tanpa ragu. Dia berdiri pada Selasa di samping patung gadis duduk, yang didirikan di seberang Kedutaan Besar Jepang di Seoul pada 2011.
Dengan menggambarkan wanita muda tanpa alas kaki, berbusana tradisional Hanbok dari Korea dan dengan tangan terkepal di pangkuannya, patung itu menjadi lambang penderitaan tertahan mereka, yang disebut wanita penghibur.
Mereka dipaksa bekerja di pelacuran militer Jepang saat Perang Dunia II, dan menjadi lambang perjuangan mereka untuk memperoleh permohonan maaf dan ganti rugi resmi dari Tokyo.
Pada pekan lalu, Jepang menawarkan permohonan maaf dan dana satu miliar yen (120 miliar rupiah) kepada 46 wanita penghibur Korea Selatan, yang masih hidup, di bawah perjanjian, yang disebut kesepakatan akhir dan tidak dapat dibalikkan oleh kedua negara itu.
Namun, kesepakatan itu memicu kebingungan atas nasib patung wanita penghibur itu, yang saat ini menjadi fokus bagi para aktivis Korea Selatan yang menuduk pemerintah menjual diri ke Tokyo.
Jepang bersikeras kesepakatan itu termasuk usaha jelas dari Korea Selatan untuk menyingkirkan patung itu, dengan Menteri luar Negeri Jepang, Fumio Kishida, mengutarakan pada Senin, dia memahami patung itu akan dipindahkan sepantasnya.
Namun, Seoul berkata, mereka hanya berjanji mencari kemungkinan pemindahan patung perunggu itu dan meminta seorang pejabat senior Kedutaan Besar Jepang di Seoul menegur apa yang mereka sebut sebagai komentar provokatif dari Kishida.
Kementerian Luar Negeri Korea Selatan juga menekankan, karena patung itu ditempatkan kelompok masyarakat, pemerintah tidak memiliki hak untuk memerintahkan penyingkirannya.
Kelompok ujung tombak pembuatan dan pembangunan patung perunggu itu tidak mengubah pendirian sama sekali.
Patung tersebut tidak dapat menjadi syarat atau bentuk dalam kesepakatan apapun, Dewan bagi Wanita yang Diwajibkan untuk Perbudakan Seksual Militer Jepang Korea Selatan berkata dalam pernyataan pada situs resminya.
"Pemerintah Korea tidak dapat menyebutkan apapun terkait penyingkiran atau pemindahan monumen itu," tambahnya.
Perasaan warga Korea Selatan tentang keseluruhan kesepakatan terbagi rata, namun terkait isu spesifik yang berhubungan dengan patung itu masih tinggi, dengan survei menunjukkan 75 persen warga Korea Selatan menentang pemindahan patung itu.
Bong Young Shik, seorang peneliti senior yang akhi tentang Jepang di Studi politik Institut Asan di Seoul, mengatakan perselisihan yang ada menempatkan pemerintah korea Selatan dalam posisi yang sempit, meskipun ibu kota politik itu telah meluas dalam membuat kesepakatan dengan Jepang.
"Isu terkait wanita penghibur saat perang merupakan isu yang sangat emosional di Korea dan patung itu merupakan simbol dari mereka. Masyarakat marah karena Jepang mencoba menyingkirkan patung tersebut, namun lebih marah lagi dikarenakan sepertinya pemerintah Korea bekerjasama dalam hal itu," kata Bong kepada media.
Patung perunggu yang berada di seberang Kedutaan Besar Jepang di Seoul selama empat tahun terakhir itu dibangun dengan donasi publik sejumlah 30 juta won (sekitar 300 juta rupiah).
Satu kursi kosong di sebelah patung wanita muda itu menandakan para korban yang telah tewas sejak masa perang, sementara bayangan yang dipahat di dasar patung itu berbentuk seorang wanita tua renta yang menggambarkan penderitaan mendalam yang masih menghantui para mereka yang selamat.
Patung itu telah terbukti sebagai sebuah simbol yang sangan ampuh dan populer, dan secara rutin diberi pakaian sesuai musim yang berlalu, seperti topi wol dan syal pada musim dingin.
Lebih dari dua lusin monumen serupa telah dibangun di penjuru Korea Selatan, dan sejumlah patung lainnya di luar negeri seperti di Amerika Serikat dan Kanada.
Di luar Kedutaan Besar Jepang di Seoul, Jung mengatakan dia akan tetap menjaga patung itu selama mungkin.
Jung berasal dari organisasi pelajar yang menjadi salah satu dari sejumlah kelompok yang bergantian menjaga agar patung itu tetap pada tempatnya.
"Kami menuntut isu ini diselesaikan dengan cara memenuhi tuntutan para korban. Saya akan terus datang ke tempat ini selama protes masih berlangsung," katanya.
Pada pekan lalu, Jepang menawarkan permohonan maaf dan dana satu miliar yen (120 miliar rupiah) kepada 46 wanita penghibur Korea Selatan, yang masih hidup, di bawah perjanjian, yang disebut kesepakatan akhir dan tidak dapat dibalikkan oleh kedua negara itu.
Namun, kesepakatan itu memicu kebingungan atas nasib patung wanita penghibur itu, yang saat ini menjadi fokus bagi para aktivis Korea Selatan yang menuduk pemerintah menjual diri ke Tokyo.
Jepang bersikeras kesepakatan itu termasuk usaha jelas dari Korea Selatan untuk menyingkirkan patung itu, dengan Menteri luar Negeri Jepang, Fumio Kishida, mengutarakan pada Senin, dia memahami patung itu akan dipindahkan sepantasnya.
Namun, Seoul berkata, mereka hanya berjanji mencari kemungkinan pemindahan patung perunggu itu dan meminta seorang pejabat senior Kedutaan Besar Jepang di Seoul menegur apa yang mereka sebut sebagai komentar provokatif dari Kishida.
Kementerian Luar Negeri Korea Selatan juga menekankan, karena patung itu ditempatkan kelompok masyarakat, pemerintah tidak memiliki hak untuk memerintahkan penyingkirannya.
Kelompok ujung tombak pembuatan dan pembangunan patung perunggu itu tidak mengubah pendirian sama sekali.
Patung tersebut tidak dapat menjadi syarat atau bentuk dalam kesepakatan apapun, Dewan bagi Wanita yang Diwajibkan untuk Perbudakan Seksual Militer Jepang Korea Selatan berkata dalam pernyataan pada situs resminya.
"Pemerintah Korea tidak dapat menyebutkan apapun terkait penyingkiran atau pemindahan monumen itu," tambahnya.
Perasaan warga Korea Selatan tentang keseluruhan kesepakatan terbagi rata, namun terkait isu spesifik yang berhubungan dengan patung itu masih tinggi, dengan survei menunjukkan 75 persen warga Korea Selatan menentang pemindahan patung itu.
Bong Young Shik, seorang peneliti senior yang akhi tentang Jepang di Studi politik Institut Asan di Seoul, mengatakan perselisihan yang ada menempatkan pemerintah korea Selatan dalam posisi yang sempit, meskipun ibu kota politik itu telah meluas dalam membuat kesepakatan dengan Jepang.
"Isu terkait wanita penghibur saat perang merupakan isu yang sangat emosional di Korea dan patung itu merupakan simbol dari mereka. Masyarakat marah karena Jepang mencoba menyingkirkan patung tersebut, namun lebih marah lagi dikarenakan sepertinya pemerintah Korea bekerjasama dalam hal itu," kata Bong kepada media.
Patung perunggu yang berada di seberang Kedutaan Besar Jepang di Seoul selama empat tahun terakhir itu dibangun dengan donasi publik sejumlah 30 juta won (sekitar 300 juta rupiah).
Satu kursi kosong di sebelah patung wanita muda itu menandakan para korban yang telah tewas sejak masa perang, sementara bayangan yang dipahat di dasar patung itu berbentuk seorang wanita tua renta yang menggambarkan penderitaan mendalam yang masih menghantui para mereka yang selamat.
Patung itu telah terbukti sebagai sebuah simbol yang sangan ampuh dan populer, dan secara rutin diberi pakaian sesuai musim yang berlalu, seperti topi wol dan syal pada musim dingin.
Lebih dari dua lusin monumen serupa telah dibangun di penjuru Korea Selatan, dan sejumlah patung lainnya di luar negeri seperti di Amerika Serikat dan Kanada.
Di luar Kedutaan Besar Jepang di Seoul, Jung mengatakan dia akan tetap menjaga patung itu selama mungkin.
Jung berasal dari organisasi pelajar yang menjadi salah satu dari sejumlah kelompok yang bergantian menjaga agar patung itu tetap pada tempatnya.
"Kami menuntut isu ini diselesaikan dengan cara memenuhi tuntutan para korban. Saya akan terus datang ke tempat ini selama protes masih berlangsung," katanya.
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2016