Jakarta (ANTARA News) - Indonesia memiliki kepentingan agar proses putaran perundingan Agenda Pembangunan Doha WTO --Organisasi Perdagangan Dunia-- berhasil dan tercapai keseimbangan antara keperluan perdagangan dan pembangunan.
Pernyataan itu dikemukakan Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda dalam Lokakarya Nasional mengenai Kemajuan Agenda Pembangunan Doha dan Kesepakatan TRIPs (perdagangan terkait unsur hak kekayaan intelektual) di Jakarta hari Rabu, yang juga dihadiri Menteri Perdagangan Mari E Pangestu dan Dirjen WTO Pascal Lamy.
"Lebih lagi, sebagai negara berkembang, bagi kita lebih baik daripada `dealing` secara bilateral, dimana tidak ada aturan cukup jelas (dalam menyelesaikan sengketa perdagangan)," katanya.
Menlu kemudian mencontohkan mengenai lebih dari 120 tuntutan kepada Indonesia, karena tuduhan melakukan anti-dumping, termasuk dari Korea Selatan pada penjualan ekspor kertas Indonesia ke negeri gingseng itu.
"Kalau dibicarakan secara bilateral, sengketa perdagangan seperti ini tidak mudah, tapi pada forum WTO ada mekanisme penyelesaian sengketa, yang notabene dalam prosesnya memenangkan kita. Oleh karena itu, kita memerlukan aturan permainan, aturan perdagangan jelas seperti dalam proses perundingan Doha Development Agenda dan TRIPs," katanya.
Mengenai perlindungan kekayaan intelektual, yang merupakan bagian penting dalam perundingan Doha, Menlu mengatakan bahwa Indonesia akan memperoleh manfaat dari pemberlakuan mekanisme perlindungan kekayaan intelektual.
"Sejak tahun 2000, hukum perlindungan terhadap kekayaan intelektual kita telah sejalan dengan kesepakatan TRIPs," katanya.
Terhadap kesenjangan sebagai akibat globalisasi, Menlu tidak menampik kenyataan mengenai hal itu.
"Bahkan, negara yang memperoleh manfaat dari globalisasi tetap memiliki kantung kemiskinan, karena ada yang gagal memetik manfaat dari globalisasi," katanya.
Dalam globalisasi, menurut Hassan, akan selalu ada pihak yang menang dan kalah dan pemenang akan cenderung selalu menang dengan meningkatnya kekuatan, sehingga memperlebar kesenjangan kaya dan miskin.
"Tujuan Pembangunan Milenium, yang disepakati pemimpin dunia pada 2001, untuk mengatasi kesenjangan itu," katanya.
Namun, lanjut dia, tujuh tahun telah berlalu dan hingga saat ini belum ada kepastian mengenai tercapainya tujuan itu.
"Kita akan melanjutkan upaya menjembatani kesenjangan kapasitas dan pengetahuan, hambatan semua negara berkembang," katanya.(*)
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007