Bojonegoro (ANTARA News) - Paguyuban Tahu dan Tempe Kabupaten Bojonegoro, Jawa Timur, menyatakan produksi tahu di daerahnya tidak terpengaruh masuknya tahu Semedang, Jawa Barat, karena tahu Sumedang yang dipasarkan hanya cocok dikonsumsi langsung.

"Masuknya tahu Semedang, tidak mempengaruhi pemasaran tahu lokal," jelas Ketua Paguyuban Tahu dan Tempe Bojonegoro Arifin, di Bojonegoro, Minggu.

Ia menjelaskan produksi tahu dan tempe yang menjadi anggota paguyubannya dengan jumlah 150 perajin, selain memenuhi kebutuhan lokal, juga dijual ke luar kota, seperti ke Babat, Lamongan dan Cepu, Jawa Tengah.

"Produksi tahu di daerah kami tidak hanya cocok dikonsumsi langsung, tapi juga disukai konsumen, karena cocok untuk berbagai keperluan lainnya, seperti untuk campuran sayur," jelas dia.

Apalagi, lanjut dia, harga tahu Sumedang, ukuran kecil yang dijual pedagang asal Sumedang, di berbagai lokasi harganya mencapai Rp600 per sepuluh dan tahu lokal Rp300 per sepuluh.

"Tahu lokal tidak hanya bisa dikonsumsi langsung, tapi bisa dimanfaatkan untuk sayuran, sehingga tingkat penjualan pedagang tahu lokal," jelas dia.

Menurut dia, tidak ada perbedaan tahu asal Sumedang dengan produksi tahu lokal di Desa Ledokkulon, dari komposisi bahan kedelai impor maupun lokal. Perbedaannya tahu Sumedang lebih halus, sedangkan tahu lokal di daerahnya lebih kasar.

"Perajin tahu lokal kalau mau membuat tahu seperti tahu Sumedang, ya, bisa saja," ucap Arifin.


Menurut dia, beredarnya tahu Sumedang, karena ada seorang perajin tahu asal Sumedang, yang datang ke daerahnya, sejak sebulan lalu.

Saat ini, lanjut dia, perajin asal Sumedang itu, mampu memproduksi tahu Sumedang, dengan bahan kedelai sekitar 1,5 kuintal per hari.

Perajin asal Sumedang itu, juga akan memproduksi tahunya di Desa Ledokkulon, Kecamatan Kota, yang menjadi sentra produksi tahu di daerahnya.

"Perajinnya cuma satu, tapi pedagang tahunya yang banyak, sehingga banyak dijumpai di berbagai lokasi," kata Arifin.

Pewarta: Slamet Agus Sudarmojo
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2016