Jakarta (ANTARA News) - Siapa pun dia, termasuk Mensesneg Yusril Ihza Mahendra maupun Ketua KPK Taufiqurrahman Ruki, semuanya sama posisinya di hadapan hukum, karenanya mesti memperoleh perlakuan tidak ada bedanya dengan yang lain. Anggota Komisi II DPR, Suharso Monoarfa (Fraksi PPP), menyatakan hal itu di Jakarta, Rabu, sehubungan dengan terjadinya 'konflik terbuka' antara kedua tokoh, terkait persoalan penunjukan langsung (PL) proyek-proyek di lingkup Departemen Hukum dan HAM (Depkum dan HAM) serta Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). "Materi yang saling dituduhkan keduanya, adalah soal belanja barang yang nilainya di atas Rp50 juta dan pembiayaannya dengan APBN harus ditender, bukan penunjukkan langsung. Tetapi, karena keduanya menganggap ada urgensi yang tinggi, berlangsunglah cara ini," ungkap Suharso.Sebenarnya, demikian dia melanjutkan, ada juga klausul yang menyatakan anggaran berniali Rp50 juta sampai Rp100 juta dibolehkan pemilihan langsung. "Pemilihan langsung ini tidak sama dengan penunjukkan langsung atau popular dengan PL. Nah terkait kasus di Depkum dan HAM dan KPK, seperti saya sebut tadi karena keduanya menganggap ada urgensi yang tinggi terhadap kebutuhan barang tersebut, terutama dari segi waktu, maka keduanya memilih PL," katanya lagi. Bagaimana KPU Suharso Monoarfa berpendapat PL dapat dilakukan sepanjang memperoleh izin prinsip dari menteri dengan kompetensi tertentu untuk belanja di departemen. Juga dari gubernur, bupati, walikota untuk belanja provinsi, kabupaten, kota. "Dalam kedua kasus PL di KPK dan Depkum dan HAM, saya tidak tahu, apakah ada izin prinsip yang diberikan, dan oleh siapa," ujarnya. Kalau ini jadi soal, demikian Suharso, bagaimana dengan ihwal sama di institusi KPU. "Sebenarnya kan hal yang sama tapi tak serupa terjadi juga di KPU. Maka, jika PL bisa terjadi di kedua tempat, bagaimana dengan KPU yang telah mengantarkan ketua dan anggotanya ke belakang jeruji besi," tanyanya. Dikatakannya dari segi waktu dan urgensi, justru apa yang dihadapi KPU itu begitu ketat dan berurgensi tinggi. "Meski hal ini tidak dapat dijadikan alasan, namun bukankah 'every one equal before the law'," tanya Suharso lagi. (*)

Copyright © ANTARA 2007