Jakarta (ANTARA News) - Pernyataan Pemerintah Singapura bahwa kebijakan Indonesia melarang ekspor pasir dikait dengan adanya penekanan politik dalam permasalahan perjanjian ekstradisi adalah sebuah tuduhan yang tidak proporsional. "Saya sangat tersinggung dengan statemen itu. Menurut saya perjuangan perjanjian ekstradisi tidak bisa dijadikan satu dengan urusan larangan ekspor pasir. Itu tersendiri. Jadi itu adalah pelecehan atau tuduhan yang tidak proporsional," kata anggota Komisi I DPR RI Suripto, di Jakarta, Rabu. Menurut Suripto, larangan ekspor pasir sesuai dengan peraturan yang dikeluarkan oleh Menteri Perdagangan adalah atas pertimbangan dua hal, yakni pulau Indonesia yang semakin kecil dan dapat memperluas wilayah Singapura dengan reklamasi. Dengan hal tersebut, lanjut Suripto, perjanjian perbatasan antar kedua negara bisa setiap saat berubah. Bisa saja saat ini dilakukan penandatangan perjanjian, namun sepuluh tahun kemudian berubah, karena daerah yang semakin luas. "Oleh karena itu, menurut saya ini adalah persoalan serius. Kita harus konsisten pelarangan ekspor pasir dipertahankan," ujarnya. Pemerintah pusat harus terus melakukan koordinasi dengan pemerintah daerah. Kalau perlu, bupati-bupati di daerah harus diberi penjelasan mengenai hal tersebut, katanya. Selama ini bupati mengijinkan ekspor karena payung hukumnya adalah perda yang mendukung peningkatan ekspor, dimana salah satu komoditi ekspor adalah pasir, sehingga jika ada, Perda-Perda tersebut, harus dicabut. Suripto menegaskan, selain pemerintah pusat harus mempertahankan larangan ekspor yang telah diawali dengan aturan dari Menteri Perdagangan, langkah lain yang perlu dilakukan adalah peningkatan peran diplomasi. "Jangan sampai pemerintah kita bisa dibujuk dengan kompensasi iming-iming perjanjian ekstradisi akan diselesaikan dengan syarat pelarangan ekspor pasir dicabut," ujarnya. Suripto berpendapat, sangat sulit untuk pihak Singapura bersedia menandatangani perjanjian ekstradisi, jika perundingan hanya dilakukan dua negara, kecuali jika ada tekanan-tekanan dari negara lain, sehingga Singapura mau menyerah. "Jadi, peran diplomasi sangat menjadi ujung tombak, diplomasi bukan hanya dengan Singapura, tapi peningkatan diplomasi dengan negara-negara ASEAN dan luar ASEAN untuk melakukan penekanan kepada Singapura," demikian Suripto. Peraturan Menteri Perdagangan No. 02/M-DAG/PER/1/2007 Tentang Larangan Ekspor Pasir, Tanah dan Top Soil sendiri, berlaku efektif sejak 23 Januari 2007. Dalam peraturan tersebut, empat nomor pos tarif (harmonize system/HS) yang dilarang ekspor, di antaranya pasir alam, pasir silika, pasir kwarsa, dan tanah liat. (*)
Copyright © ANTARA 2007