Jakarta (ANTARA News) - Sebanyak 83 persen dari proses penunjukkan langsung pengadaan barang dan jasa di lingkungan instansi pemerintah berakhir dengan praktik mark up atau penggelembungan harga dari nilai yang sebenarnya. Koordinator investigasi Indonesia Procurement Watch (IPW) Hayie Muhammad, di Jakarta, Selasa, mengatakan, angka itu diperoleh dari penelitian IPW di tujuh kota besar di Indonesia, di antaranya Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Pekan Baru. Dari 500 laporan masyarakat tentang pengadaan barang dan jasa di lingkungan pemerintah, Hayie menuturkan, sebanyak 400 laporan adalah penunjukkan langsung. Dari 400 laporan soal penunjukkan langsung, sebanyak 83 persen akhirnya berakhir dengan penggelembungan harga. Hayie menjelaskan, sebenarnya penunjukkan langsung bukanlah hal yang dilarang oleh Keppres No 80 Tahun 2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa di instansi pemerintah. Namun, pengecualian itu ada syaratnya. Penunjukkan langsung seperti yang diatur dalam Keppres itu hanya diperbolehkan untuk barang yang nilainya dibawah Rp50 juta, dalam situasi darurat seperti bencana alam dan untuk pengadaan yang menyangkut rahasia negara serta hanya dapat disediakan oleh perusahaan tertentu. "Syarat-syarat itu harus dipenuhi untuk prosedur penunjukkan langsung. Tapi, sayangnya, tidak ada sanksi bagi mereka yang menyalahi aturan Keppres," kata Hayie. Ia menambahkan, penunjukkan langsung memang berpotensi untuk menimbulkan praktik korupsi dan kolusi. "Biasanya, rekanan yang ditunjuk oleh pejabat itu yang ada kaitannya dengan dia. Bisa saudaranya, bisa temannya," ujarnya. Penunjukkan langsung, lanjut dia, juga bermasalah apabila diikuti oleh praktik penggelembungan harga, seperti yang telah banyak terjadi. Dalam kasus dugaan korupsi pengadaan alat pembaca sidik jari otomatis di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum, Departemen Hukum dan HAM, pada 2004, Hayie berpendapat, ada dua kesalahan yang terjadi. Kesalahan pertama, menurut dia, persetujuan prinsip penunjukkan langsung yang diberikan oleh Mantan Menteri Hukum dan HAM, Yusril Ihza Mahendra. "Menteri tidak punya kewenangan untuk itu. Sesuai Keppres No 80 Tahun 2003, yang mempunyai kewenangan adalah pimpinan proyek atau kuasa pengguna anggaran," katanya. Kesalahan kedua dalam kasus itu, lanjut Hayie, adalah adanya penggelembungan harga dan pemberian uang dari rekanan yang ditunjuk kepada pimpinan proyek.(*)

Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007