Jakarta (ANTARA News) - Dewan Pers menilai sebaiknya kriminalisasi pers berupa kesalahan karya jurnalistik seharusnya cukup diselesaikan dengan hak jawab dan UU No 40 tahun 1999 tentang Pers tidak perlu dengan KUHP. "Bila hak jawab belum memuaskan, bisa diproses dalam perkara perdata yakni dengan denda yang proporsional," kata Wakil Ketua Dewan Pers, Leo Batubara dalam diskusi Komitmen Pemerintah terhadap Kebebasan Pers yang diselenggarakan Dewan Pers di Jakarta, Selasa. Menurut Leo Batubara, sebenarnya KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) buatan Belanda memang didesain supaya mulut rakyat Indonesia terjajah tidak berani mengkritik penguasa saat itu, sehingga tidak tepat jika masih diterapkan untuk pers saat ini. "Celakanya, aktivis pers yang menginginkan KUHP 37 direformasi, tapi pemerintah telah selesai merancang KUHP. Bukan menghilangkan 37 pasal tapi telah menjadikan 61 pasal yang dapat menyeret wartawan masuk penjara," ujarnya. Ia menjelaskan, dalam UU Pers bahwa pers harus melakukan kontrol sosial untuk melakukan pengawasan, kritik dan temuan dari kontrol tersebut yang dapat dijadikan bahan oleh penegak hukum terutama dalam investigasi mereka yang melakukan korupsi dan diduga melakukan judi. "Sayangnya, berdasarkan KUHP kontrol pers itu dianggap sebagai penghinaan, dusta, bohong, dan fitnah," katanya. Leo menambahkan, sebenaranya KUPH tersebut dapat diterapkan jika media bersangkutan sudah pada tingkat pemerasan. Dalam kesempatan sama, anggota Komisi I DPR RI Sutradara Ginting menyatakan, ada tiga alternatif menyikapi kriminalisasi pers yakni dengan pidana namun sangat ringan, perdata, dan ketiga sanksi. "Jika pidana, maka masalah yang paling serius adalah dampak kebebasan berfikir, yakni tidak berkembangnya budaya berfikir yang sehat," katanya. Oleh karena itu, lanjut Sutradara, kriminalisasi pers sebaiknya diterapkan dengan cara perdata. Namun, jika akhirnya diterapkan pidana maka harus sangat ringan. "Penerapannya adalah diminimalisir pidana dan dimaksimalkan perdata," tegas Sutradara Ginting.(*)

Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2007