Jakarta (ANTARA News) - Sebanyak sepuluh menteri dari 38 anggota Kabinet Indonesia Bersatu (KIB) dinilai layak diganti dan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono diminta tidak ragu-ragu untuk melakukan
reshuffle kabinet.
Penilaian tersebut merupakan hasil diskusi 24 organisasi kemasyarakatan dan Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) yang dikoordinir ormas Relawan Bangsa, di Jakarta, Selasa.
"Mengingat
reshuffle merupakan hak prerogatif presiden maka keputusan
reshuffle tentu berada di presiden. Ini hanya masukan dari kami selaku elemen masyarakat," kata Prabowo Suryono dari Relawan Bangsa.
Sepuluh menteri yang dinilai layak diganti adalah Menteri Perhubungan Hatta Rajasa, Menneg BUMN Sugiharto, Menteri Pemberdayaan Perempuan Meutia Farida Hatta, Menteri Perumahan Rakyat Yusuf Asyari.
Berikutnya Menkumham Hamid Awaludin, Menteri Agama Maftuh Basyuni, Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu, Menteri Pertanian Anton Apriantono, Menteri Kesehatan Siti Fadillah Supari, dan Menbudpar Jero Wacik.
Sementara menteri atau pejabat setingkat menteri yang dinilai memiliki kinerja baik adalah Menteri Luar Negeri Hassan Wirajuda, Menteri Komunikasi dan Informasi Sofyan Djalil, serta Kepala Polri Jenderal Pol Sutanto.
"Sisanya bernilai cukup. Jadi masih bisa dipertahankan di kabinet," katanya.
Ketua Umum DPN Relawan Bangsa Suaib Didu menambahkan, untuk meningkatkan kinerja kabinet, pihaknya mendukung Presiden Yudhoyono melakukan
reshuffle kabinet.
Dikatakannya, ada beberapa alasan yang membuat
reshufflereshuffle perlu
dilakukan. Pertama, ada beberapa menteri yang dalam mengambil keputusan sarat dengan kepentingan golongan dan kelompok politik.
Kedua, ada beberapa menteri yang tidak memiliki program yang jelas, pasif, bahkan tidak menguasai bidang tugas yang dipercayakan presiden kepadanya.
"Juga ada menteri yang terkesan jalan sendiri, kurang konsolidasi, serta menyerahkan segala persoalan yang dihadapi kepada presiden," katanya.
Sementara itu Muhtar HP dari Masyarakat Anti Korupsi (Matikor) menyatakan, tiga faktor yang menjadi alasan perlunya dilakukan
reshuffle adalah adanya menteri yang lebih patuh pada partai pengusungnya daripada presiden, tidak mengerti tugasnya, serta posisinya tidak sesuai dengan bidang keahliannya.
"Ini kabinet presidensiil, bukan parlementer. Jadi, sangat salah jika ada menteri yang lebih takut atau lebih patuh kepada partainya daripada kepada presiden," katanya.(*)
Editor: Bambang
Copyright © ANTARA 2007