Jakarta (ANTARA News) - Publik mungkin masih ingat pernyataan Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin yang menyebutkan bahwa pihaknya sudah harus mempersiapkan regulasi Badan Pengelolaan Keuangan Haji (BPKH) sesuai amanat Undang-Undang (UU) Nomor 34 Tahun 2014 tentang Keuangan Haji.
Sejak UU tersebut dinyatakan berlaku, 17 Oktober 2014, Kementerian Agama (Kemenag) sudah harus membentuk BPKH. Sebab, amanah dari UU tersebut bunyinya demikian. Pasal 57 dari UU No. 34 tahun 2014 menyatakan, Peraturan Pelaksanaan dari Undang-Undang ini harus ditetapkan paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang Undang ini diundangkan. Pasal 58, BPKH harus sudah terbentuk paling lama 1 (satu) tahun sejak Undang-Undang ini diundangkan.
Dan pada Pasal 59 UU tersebut ditegaskan, dalam jangka waktu paling lama 6 (enam) bulan sejak terbentuknya BPKH, semua aktiva dan pasiva serta hak dan kewajiban hukum atas Keuangan Haji beserta kekayaannya beralih menjadi aktiva dan pasiva serta hak dan kewajiban hukum BPKH.
Realitasnya kini, sudah hampir setahun badan tersebut belum terlihat wujudnya.
Padahal, untuk mewujudkan amanat dari UU tersebut diperlukan satu proses dan membutuhkan waktu cukup lama. Salah satunya membuat Peraturan Pemerintah (PP) dari UU bersangkutan, selanjutnya membentuk tim panitia seleksi untuk mengisi badan tersebut.
Merealisasikan badan tersebut kini menjadi "pekerjaan rumah" (PR) bagi jajaran Kemenag. Keinginannya, memang, makin cepat makin baik. Tapi, bukan berarti belum terbentuknya BPKH jajaran Kemenag tidak berbuat apa-apa alias diam.
"Kami sudah bekerja sesuai dengan tugas dan fungsi sebagaimana mestinya," kata Kepala Biro Hukum dan Kerja Sama Luar Negeri Achmad Gunaryo, terkait belum terwujudnya BPKH.
PP sebagai turunan dari UU Nomor 34 tahun 2014 itu, kata Gunaryo, sudah dibuat dan diserahkan kepada Kementerian Hukum dan HAM. Tentang hasilnya hingga kini tak terlihat wujudnya, itu di luar batas kewenangannya.
Ia secara pribadi berkeinginan agar hal itu secepatnya terwujud mengingat penyelenggaraan ibadah haji ke depan harus terus menerus diperbaiki. Agar kinerja Kemenag ke depan makin baik, sudah dipastikan bahwa kementerian itu tak akan lagi mengelola keuangan haji tetapi sebagai penyelenggara ibadah haji. Itu berarti, pengelolaan keuangan dan penyelenggaraan pemisahannya akan semakin jelas.
"Struktur, kelembagaan dan susunan dewan komisaris termasuk dewan pengawasnya sudah harus terbentuk. Sesuai amanat dari UU itu," katanya.
Sekjen Kemenag Nur Syam pernah menyebutkan bahwa akumulasi dana setoran awal Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH) pada 2014 mencapai Rp73,79 triliun. Pada 2022 bisa mencapai sekitar Rp147,67 triliun. Dana tersebut harus dikelola dengan baik.
"Kini, pisahkan saja, dalam satu wadah di luar Kemenag. Kemenag sebagai penyelenggara ibadah haji dan di luar itu ada badan pengelola dana haji, yaitu BPKH," katanya.
"Jadi, ini menurut saya, UU ini memiliki kekuatan yang sangat strategis luar biasa. Kewenangan Kemenag, sebagai institusi penyelenggara haji tidak tergeser," kata dia.
Kualitas layanan
Dalam laman Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (HAM) diperjelas lagi bahwa pemerintah telah mengundangkan UU Nomor 34 Tahun 2014 tentang BPKH yang sebelumnya telah disetujui oleh Rapat Paripurna DPR-RI pada 29 September 2014, dan disahkan oleh Presiden ke-6 RI, Susilo Bambang Yudhoyono pada 17 Oktober 2014.
Pada UU ini disebutkan, Pengelolaan Keuangan Haji bertujuan meningkatkan:
a. Kualitas Penyelenggaraan Ibadah Haji;
b. Rasionalitas dan efisiensi penggunaan Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (BPIH); dan
c. Manfaat bagi kemaslahatan ummat Islam.
Adapun keuangan haji meliputi:
a. Penerimaan yang meliputi: setoran BPIH dan/atau BPIH Khusus, nilai manfaat Keuangan Haji, dana efisiensi Penyelenggaraan Ibadah Haji, Dana Alokasi Umum (DAU), dan sumber lain yang sah dan tidak mengikat:
b. Pengeluaran (meliputi penyelenggaraan Ibadah Haji, operasional BPKH, penempatan dan/atau investasi Keuangan Haji, dsb); dan
c. Kekayaan.
Menurut UU ini, Pengelolaan Keuangan Haji dilakukan oleh BPKH yang bersifat mandiri dan bertanggung jawab kepada Presiden. "Pengeloaan Keuangan Haji oleh BPKH dilakukan secara korporatif dan nirlaba," bunyi Pasal 20 Ayat (4) UU ini. BPKH sebagaimana dimaksud, menurut UU ini, berkedudukan dan berkantor pusat di ibukota negara, dan dapat memiliki kantor perwakilan di provinsi dan kantor cabang di kabupaten/kota.
Tugas BPKH adalah mengelola Keuangan Haji yang meliputi penerimaan, pengembangan, pengeluaran, dan pertanggungjawaban Keuangan Haji.
Adapun wewenang BPKH adalah:
a. Menempatkan dan menginvestasikan Keuangan Haji sesuai dengan prinsip syariah, kehati-hatian, keamanan, dan nilai manfaat; dan
b. Melakukan kerja sama dengan lembaga lain dalam rangka pengelolaan Keuangan Haji.
"Untuk melaksanakan tugas dan fungsinya, BPKH berhak memperoleh dana operasional untuk penyelenggaraan program pengelolaan Keuangan Haji yang bersumber dari nilai manfaat Keuangan Haji," bunyi Pasal 25 Undang-Undang Nomor 34 Tahun 2014 itu.
Kewajiban BPKH, menurut UU ini di antaranya adalah:
a. Mengelola Keuangan Haji secara transparan dan akuntabel untuk sebesar-besarnya kepentingan Jemaah Haji dan kemaslahatan Umat Islam;
b. Memberikan informasi melalui media mengenai kinerja, kondisi keuangan, serta kekayaan dan hasil pengembangannya secara berkala setiap 6 (enam) bulan;
c. Melaporkan pelaksanaan Keuangan Haji, secara berkala setiap 6 (enam) bukan kepada Menteri Agama dan DPR; dan
d. Membayar nilai manfaat setoran BPIH dan/atau BPIH Khusus secara berkala ke rekening virtual setiap Jemaah Haji.
Tidak lepas-tangan
BPKH meski terpisah dari struktur Kemenag, tetapi bukan berarti kementerian itu lepas tangan. Dalam hal anggaran peruntukan penyelenggaraan ibadah haji setiap tahun, Ditjen Penyelenggaraan Haji dan Umroh (PHU) harus duduk bersama atau berkoordinasi tatkala menentukan besaran anggaran untuk penyelenggaraan haji. Selain itu, Kemenag harus ikut terus menerus memantau pengelolaan keuangan yang dilakukan secara transparan.
Kemenag bisa saja menempatkan pegawainya di BPKH. Tapi, tentang ini tentu harus dibahas lagi ke depan, kata Gunaryo.
Tapi, yang jelas, sebelum dibentuk BPKH, pihak pemerintah melalui Kemenag membentuk panitia seleksi (Pansel) BPKH. Siapa dan dengan kemampuan apa orang bersangkutan yang bisa menjabat di BPKH itu. "Ini butuh waktu," ia menjelaskan.
Untuk memilih dan menetapkan anggota Badan Pelaksana dan anggota Dewan Pengawas, Presiden membentuk panitia seleksi, yang terdiri atas 3 (tiga) orang dari unsur Pemerintah, dan 6 (enam) orang dari unsur masyarakat. "Keanggotaan panitia seleksi ditetapkan dalam keputusan Presiden", bunyi Pasal 36 Ayat (3) UU No. 34/2014 ini.
Satu hal yang mengkhawatirkan Gunaryo ke depan adalah jika personel yang duduk di BPKH tak mengerti manajemen keuangan dan tentang penyelenggaraan ibadah haji. Jika itu yang terjadi, akan membawa risiko pada jajaran menajemen berhadapan dengan para penegak hukum. Sementara dari sisi lain uang umat lenyap dan menguap begitu saja lantaran dikelola tidak secara profesional.
Di sisi lain, setelah terbentuknya BPKH bukan berarti semua pihak bisa berbesar hati. Pasalnya, dana yang sepenuhnya dikelola oleh BPKH - termasuk dana abadi umat (DAU) yang selama ini tersimpan di Sukuk - lantas bisa aman.
Jika ada risiko keuangan, atau terjadi mismanajemen, maka kerugian yang terjadi dan menyebabkan dana tersebut berkurang, pemerintah tak memberi jaminan.
Hal tidak ada jaminan uang umat berkurang, bisa dilihat seluruh pasal dari UU Nomor 34 tahun 2014 itu. Tak satu pasal pun yang menyebut dana yang dikelola oleh BPKH dapat jaminan dari pemerintah.
Kenapa demikian? Menurut Gunaryo, hal itu dimaksudkan agar para jajaran manajemen BPKH termasuk institusi pengawasnya, dapat terdorong untuk bekerja profesional, mengedepankan kehati-hatian dan transparan. Dalam operasionalnya, BPKH bertanggung jawab kepada Presiden melalui Menag.
"Kami harapkan badan itu profesional," kata Gunaryo optimisti menjawab "pekerjaan rumah" Kemenag yang harus diwujudkan pada 2016.
Oleh Edy Supriatna S
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015