Jakarta (ANTARA News) - Menteri Sekretaris Negara (Mensesneg) Yusril Ihza Mahendra sebaiknya tak terpancing emosi dalam perseteruannya dengan Ketua Komisi Pemberatasan Korupsi (KPK) Taufiequrrahman Ruki, kata pengamat sosial Dr. Sofyan Siregar yang juga dosen Universitas Islam Eropa di Rotterdam, Belanda. "Hal ini dapat mengakibatkan citranya menjadi terganggu dan sebaliknya masyarakatpun mulai memberikan tanggapan negatif terhadap dirinya," kata Sofyan melalui e-mail-nya, menjawab pertanyaan ANTARA di Jakarta, Selasa, seputar kemelut yang dihadapi Mensesneg Yusril dengan Ketua KPK. Menurutnya, sudah menjadi tugas KPK untuk meminta keterangan dari Yusril sebagai saksi dalam kasus dugaan korupsi pengadaan alat Automatic Fingerprints Identification System (AFIS) di Direktorat Jenderal Administrasi Hukum Umum (Dirjen AHU) Departemen Hukum dan HAM yang dipimpin oleh Menteri Yusril di masa regim Presiden Megawati. Seharusnya, kata dia, panggilan KPK itu ditanggapi dengan kepala dingin dan bukannya dengan memberikan reaksi balik (counter-reaction) atas masalah ini, yang pada akhirnya membuat image-nya di mata masyarakat rusak karena masyarakat pasti akan bertanya kenapa setelah diminta menjadi saksi Yusril malah menjadi kebakaran jenggot. "Mau tak mau berbagai persepsi dan dugaan negatifpun bermunculan. Ini semua karena salah Yusril yang terlalu mengikuti emosi. Sebagai orang berilmu, profesional dan beriman tidak sepantasnya menunjukkan sikap seperti ini," ujar Sofyan. Sementara itu, politisi PKB Mahfud MD dalam melihat "perseteruan" antara Mensesneg Yusril Ihza Mahendra dan Ketua KPK Taufiequrrahman Ruki, menyatakan kedua tokoh bersih dari praktik korupsi, kolusi dan nepotisme (KKN). "Yusril saya yakin bersih, hanya (pejabat) eselon satunya yang bermasalah. KPK secara hukum juga bersih," kata Mahfud. Menurut Mahfud, proyek pengadaan yang bermasalah di Depkumham terjadi lebih disebabkan oleh perbuatan para pejabat di departemen itu. Para pejabat tersebut kini sudah menjadi tersangka. Apalagi, tambah mantan Menteri Pertahanan dan Menteri Kehakiman di era pemerintahan KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Yusril disodori untuk meneken proyek itu dua hari menjelang ia melepas jabatan Menkumham. Sementara menyangkut penunjukan langsung dalam proyek pengadaan alat penyadap KPK, menurut guru besar hukum tata negara itu juga tidak bermasalah karena ada dasar hukumnya, yakni Keppres 80/2003 tentang Pengadaan Barang dan Jasa. Dalam Keppres tersebut, katanya, disebutkan bahwa penunjukan langsung dapat dilaksanakan untuk proyek pengadaan barang dan jasa terkait keamanan negara, kerahasiaan dan hal-hal yang sensitif. "Syaratnya harus ada ijin dari Presiden. Nah, pengadaan alat penyadap KPK itu sudah memperoleh ijin Presiden sebelum dilaksanakan," kata Mahfud. Sebelumnya juru bicara KPK Johan Budi menjelaskan bahwa surat persetujuan Presiden tersebut diteken Yusril sendiri selaku Mensesneg pada 2005. Lebih lanjut Mahfud mengatakan, Yusril sebenarnya tahu proyek pengadaan KPK tidak bermasalah, buktinya dalam laporannya ke KPK, Yusril melakukan ralat, yakni dari sebelumnya laporan dugaan korupsi menjadi meminta KPK menelaah proyek itu. Jika persoalan tersebut akhirnya membesar, Mahfud menduga ada pihak-pihak yang menjadi "penumpang gelap" yang memanfaatkan laporan Yusril itu untuk menghantam KPK yang memang ditakuti para koruptor. "Karena memang sudah ada laporan, kasus ini perlu di-clear-kan oleh presiden dan KPK," kata anggota Komisi I DPR RI tersebut. (*)

Copyright © ANTARA 2007