Jakarta (ANTARA News) - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers mencatat 47 kasus kekerasan terhadap jurnalis selama tahun 2015, namun diperkirakan kasus kekerasan jurnalis yang tak tercatat juga ada.

"Banyak yang tidak terpublikasi," kata Direktur Eksekutif LBH Pers, Nawawi Bahrudin, dalam konferensi pers catatan akhir tahun kebebasan pers dan kebebasan berekspresi di Jakarta, Selasa.

Dalam catatan LBH Pers, aktor yang melakukan kekerasan terhadap jurnalis didominasi oleh aparat polisi sebanyak sembilan kasus kekerasan fisik dan delapan kasus kekerasan non-fisik.

"Hal ini karena polisi memiliki banyak persinggungan dengan awak jurnalis, terutama terkait dengan tugasnya yang berada di tengah masyarakat," katanya.

Selain aparat kepolisian, tindak kekerasan terhadap jurnalis sepanjang 2015 juga dilakukan oleh petugas keamanan, massa, pejabat pemerintah, aparat pemerintah, orang tak dikenal, pengusaha, legislator, politisi, wiraswasta, asisten artis, panitia acara dan dokter.

Untuk sebaran daerah tindak kekerasan terhadap pers meliputi Papua, Maluku Utara, Maluku, Nusa Tenggara Timur, Nusa Tenggara Barat, Sulawesi Utara, Sulawesi barat, Jawa Timur, Jawa Tengah, Yogyakarta, Jawa Barat, Lampung, Sumatera Selatan, Sumatera Barat, Jambi, Riau dan Jakarta.

"Untuk kasus terbanyak berada di Jakarta dengan delapan kasus kekerasan," katanya.

Hal ini ironis, karena Jakarta sebagai Ibu Kota Negara menjadi contoh bagi daerah-daerah lainnya. "Kalau di Jakarta saja terjadi, apalagi di daerah yang jauh dari pengawasan," katanya.

Kepala Peneliti dan Divisi Jaringan LBH Pers itu mengatakan pola ancaman terhadap kebebasan pers kini bertambah. Tidak hanya intimidasi terhadap para jurnalis, namun juga kepada para narasumber.

Ia mencontohkan kasus Emerson Yuntho yang dilaporkan oleh Romli Atmasasmita yang dianggapnya kurang mendukung gerakan anti-korupsi.

Selain itu, UU ITE juga menjadi penghalang bagi kebebasan pers dan kebebasan berekspresi. Hal ini mengingat terdapat pasal karet yaitu pasal 27 ayat 3 terkait pencemaran nama baik.

"Apabila kasus ini terus-menerus terjadi, maka tidak menutup kemungkinan akan ada chilling effect, keadaaan dimana masyarakat tidak mau atau enggan berkomentar karena takut terkena kriminalisasi, sehingga kebebasan pers akan semakin buram," katanya.

Oleh karena itu, beragai pihak diharapkan untuk menggunakan UU Pers bila bermasalah dengan pers, sehingga hak masyarakat untuk mendapatkan publikasi tidak akan mendapatkan kendala.

Pewarta: Muhammad Iskandar
Editor: Ade P Marboen
Copyright © ANTARA 2015