Jakarta (ANTARA News) - Laporan peringkat daya saing Indonesia 2015-2016 sebagaimana dikeluarkan Forum Ekonomi Dunia (FED) pada September 2015, terus menurun.
Indonesia pada laporan yang dilakukan terhadap 140 negara itu berada di posisi 37 dunia atau turun tiga peringkat dibanding tahun lalu. Sementara Swiss, Singapura, dan Amerika Serikat masih menjadi penghuni tiga besar negara paling berdaya saing di dunia pada 2015.
Ada 113 indikator yang digunakan FED untuk mengukur produktivitas suatu negara di antaranya adalah infrastruktur, inovasi dan lingkungan makro ekonomi.
Indonesia berada di posisi 37 dengan nilai 4,52 sedangkan Singapura yang berada di posisi dua dengan nilai 5,68. Malaysia naik dua peringkat ke posisi 18 (5,23), dan Thailand (4,64) meski turun satu peringkat, tetapi tetap berada di atas Indonesia dengan ada di posisi 32.
Sementara Filipina dan Vietnam meski ada di bawah Indonesia, tetapi ke dua negara itu berhasil naik signifikan. Filipina (4,39) berada di posisi 47, melompat 5 peringkat dari tahun lalu. Sedangkan Vietnam (4,30) melejit 12 peringkat ke posisi 56.
Persatuan Insinyur Indonesia (PII) hingga medio Desember tahun ini pun menilai sampai saat ini banyak sektor di Indonesia belum berdaya untuk bersaing pada pasar bebas ASEAN (MEA).
"Waktu sudah habis (untuk persiapan, red). Namun, banyak sektor di Indonesia belum berdaya memasuki pasar bebas ASEAN mulai Januari 2016," kata Ketua Umum PII, Ir Bobby Gafur Umar, pada seminar "Insinyur Indonesia Menghadapi MEA : Penguatan Industri Manufaktur, Migas, Minerba dan Konstruksi" beberapa waktu lalu.
"Setidaknya ada tiga sektor yang perlu dipacu secara sungguh-sungguh yakni konstruksi, infrastruktur dan manufaktur. Selain itu, pada sisi regulasi harus disederhanakan," katanya.
Tak takut kompetisi
Presiden Joko Widodo juga menekankan pentingnya kemampuan untuk berkompetisi menghadapi persaingan, seperti saat memasuki era MEA.
Presiden berharap masyarakat tidak takut terhadap persaingan. "Tinggal dua minggu lagi MEA dibuka. Banyak yang bertanya pada saya, apakah kita siap?" ucap Presiden Jokowi ketika berbicara pada Kongres ke-20 Persatuan Insinyur Indonesia (PII) 2015.
Sebenarnya, kata Kepala Negara, hampir semua kepala negara ketika bertemu dirinya justru mengkhawatirkan negara mereka kebanjiran produk dari Indonesia. Mereka beranggapan justru Indonesia yang diuntungkan dengan era persaingan nanti.
"Jadi, visi ke depan visi kompetisi, harus berani," ujar Presiden.
Untuk menyambut MEA pun, Presiden menyebutkan bahwa infrastruktur menjadi fokus pemerintah dan telah disiapkan anggaran sebesar Rp313 triliun untuk membangun infrastruktur tersebut.
"Kita nanti akan bangun jalan. Sekarang sudah tidak mau mundur-mundur," kata Presiden sambil menyebut bahwa panjang jalan tol yang dibangun sejak merdeka hingga sekarang hanya 800 km. Lima tahun ke depan, pemerintah minimal akan membangun 1.000 km.
Sementara itu, Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Basuki Hadimuljono menekankan pentingnya ketahanan masyarakat konstruksi untuk menghadapi MEA mulai 2016.
"Selama ini kita sering mendengar kata-kata ketahanan seperti ketahanan pangan, ketahanan energi dan ketahanan sosial budaya. Sekarang adalah saatnya kita memberikan perhatian yang serius kepada ketahanan masyarakat konstruksi dalam menghadapi masyarakat ekonomi ASEAN 2016 dan WTO 2020," kata Menteri Basuki.
Penekanan itu bukan tanpa alasan sebab jangan sampai karena keterbatasan pihak terkait, potensi pertumbuhan dan pembangunan insfrastruktur di Indonesia menjadi sasaran empuk asing, baik dari segi pelaku badan usahanya maupun tenaga kerja konstruksinya.
"Pasar konstruksi Indonesia memiliki nilai yang terus meningkat. Pada 2012, jumlahnya mencapai Rp411 triliun, setahun berikutnya naik menjadi Rp466 triliun dan tahun 2014 naik drastis menjadi sebesar Rp521,7 triliun," kata Basuki.
Sedangkan pada 2015, menurut data Gabungan Pelaksana Konstruksi Indonesia (Gapensi) diperkirakan mencapai Rp446 triliun.
Jumlah yang demikian besar itu, kata Direktur Jenderal Bina Konstruksi Kementerian PUPR, Yusid Toyib, berkontribusi sekitar 67 persen terhadap pasar konstruksi Asia Tenggara atau nomor empat Asia di bawah Tiongkok, Jepang dan India.
Karena itu wajar bila pasar konstruksi di Indonesia menjadi rebutan pengusaha dari negara lain.
Oleh Edy Sujatmiko
Editor: Aditia Maruli Radja
Copyright © ANTARA 2015