Pada 2015, dua presiden negara Afrika mengubah undang-undang dasar untuk mengizinkan mereka mendapatkan kekuasaan untuk yang kedua kali atau lebih.
Denis Sassou Nguesso, yang memimpin Kongo-Brazzaville lebih dari 31 tahun, dan Paul Kagame, kepala negara Rwanda, yang menjabat sejak 1994, memerintahkan penentuan pendapat rakyat, yang akan membolehkan mereka mencalonkan diri kembali dalam pemilihan umum 2016 dan 2017.
Di Republik Demokratik Kongo, Joseph Kabila dijadwalkan turun dari jabatan pada 2016 setelah 15 tahun menjabat, namun timbul ketakutan bahwa dia juga akan tetap bertahan saat negara menghadapi ketidakpastian.
Presiden itu tidak menunjukkan tanda akan meninggalkan ruang kerjanya dan saat ini meminta rembuk bangsa untuk membuka jalan menuju pemilihan umum damai. Oposisi melihat permintaan tersebut sebagai jebakan untuk menunda pemilihan umum dua hingga empat tahun ke depan hingga mereka mampu menggalang pemilihan umum tepercaya.
Sementara itu, di bagian timur Republik Demokratis Kongo, Burundi tengah dilanda krisis sejak April, ketika Presiden Pierre Nkurunziza menginginkan jabatan untuk yang ketiga kalinya dalam gerakan yang dinilai melanggar konstitusi bahkan oleh kalangannya sendiri.
Keadaan memburuk saat Nkurunziza terpilih kembali pada Juli, dengan surat suara yang diboikot oleh kalangan oposisi. Sejak itu negara dilanda kekerasan dan adanya ketakutan di antara komunitas internasional bahwa kekerasan tersebut kemungkinan dapat mengarah ke pemunahan.
"Batasan jabatan presiden selama dua kali di konstitusi Afrika berawal pada akhir 1990an. Itu adalah sebuah pelajaran yang diambil dari (hasil dari) rezim-rezim otokratis dan kepresidenan seumur hidup," ujar seorang peneliti dari Institut Hubungan Internasional Prancis (IFRI), Thierry Vircoulon kepada media.
Namun, batasan tersebut rusak dengan cepat, dimulai dengan Togo pada 2002, diikuti oleh Chad dan Uganda pada 2005, saat Idriss Deby Itno dan Yower Museveni menggenggam kekuatan sejak 1990 dan 1986.
Undang-undang dasar di Angola, Djibouti dan Kamerun juga diubah untuk mengizinkan yang masih menjabat tetap menjabat, begitu pula dengan Zimbabwe dimana Robert Mugabe, yang berusia 91 tahun, masih menjabat sebagai presiden sejak 1980.
"Kecenderungan dasar (di Afrika tengah) pada beberapa tahun terakhir bukanlah mengarah kepada demokrasi yang lebih baik, namun malah ke arah sebaliknya," kata Vircoulon.
"Perang saudara dan perjanjian damai tidak merubah perilaku politik di negara tersebut," tambahnya.
Namun, itu bukan masalah kasus umum di benua tersebut.
Di Burkina Faso, itu adalah usaha Compaore sendiri untuk mengubah konstitusi yang mengarah kepada pemberontakan dan memaksanya untuk lengser dari kekuasaan pada Oktober 2014.
Setelah satu tahun pemberontakan, masyarakat Burkina Faso pada November memilih presiden baru dalam pemilihan umum, yang dinilai terbuka dan tepercaya.
Di Nigeria, negara berpenduduk paling banyak di Afrika, kemenangan Muhammadu Buhari pada pemilihan umum presiden Maret lalu mengarah kepada pemindahan kekuasaan demokratis pertama dalam sejarah negara itu berdiri.
Dalam catatan terbaru, badan konsultasi strategis Control Risks mengatakan bahwa perubahan di burkina Faso dan Nigeria diperkirakan tidak akan dialami di negara Afrika lainnya pada 2016.
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2015