"Teknologi bangunan apung FLNG dan sistem pengikatannya atau mooring system dinyatakan telah terbukti sesuai untuk Indonesia setelah melalui kajian teknis berbagai institusi terpercaya di Tanah Air," kata Wakil Rektor IV Bidang Penelitian Inovasi dan Kerja Sama, Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Prof. Dr. Ketut Buda Artana ST di Jakarta, Minggu.
Ia mengatakan teknologi ini masih terbilang sangat baru dan sayangnya hingga saat ini belum ada fasilitas FLNG yang secara resmi telah dioperasikan.
Menurut dia, Indonesia menjadi satu dari sedikit negara yang dianggap memiliki kapasitas dan potensi untuk menggunakan teknologi revolusioner yang mampu memberikan akses kepada lokasi gas yang paling sulit dijangkau ini.
Bahkan kata dia, saat ini masih terjadi perdebatan panas dan cukup panjang mengenai teknologi tersebut untuk bisa diterapkan di Indonesia.
FLNG merupakan teknologi kelautan yang diusung untuk aktivitas penggalian ladang gas di wilayah perairan termasuk salah satu yang memungkinkan bisa diterapkan di Maluku Selatan.
"Membawa teknologi ini ke Indonesia bukanlah tanpa tantangan. Jika kemudian proyek ini dapat berjalan sesuai rencana, hal pertama yang harus dilakukan adalah meningkatkan kapasitas galangan kapal di Indonesia," katanya.
Hal itu karena untuk proses finalisasi pabrikasi fasilitas FLNG membutuhkan galangan kapal seluas 485 meter, sementara galangan kapal terbesar di Indonesia saat ini hanya sebesar 380 meter.
"Apa artinya bagi Indonesia? Di masa depan, bukan tidak mungkin kita memiliki galangan kapal terbesar kedua di dunia setelah Ulsan di Korea Selatan dan memiliki kemampuan untuk berkompetisi dalam industri manufaktur perkapalan dan industri lainnya yang berbasis kelautan," katanya.
Ia menambahkan Konsorsium Maritim yang beranggotakan lima institusi yakni Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya, PT PAL Indonesia (Persero), Politeknik Perkapalan Negeri Surabaya, LHI-BPPT, dan PT Biro Klasifikasi Indonesia (Persero) sudah melakukan berbagai macam studi terkait hal itu.
Berbagai bentuk simulasi dan pengujian di laboratorium juga telah dilakukan oleh Konsorsium Maritim untuk mengukur tingkat keamanan dan keselamatan FLNG.
"Hasil dari segala kajian dan pengujian menunjukkan bahwa teknologi FLNG memiliki tingkat keamanan dan keselamatan yang dapat diterima," kata Ketut.
Dampak positif lain dengan berani mengadaptasi teknologi baru berkelas dunia itu kata Ketut adalah jaminan transfer pengetahuan.
"Daya saing tenaga kerja dan insinyur kita tentunya ditantang untuk dapat memasuki level lebih tinggi agar mampu mengisi kesenjangan yang mungkin timbul dari
terapan teknologi ini. Ini selayaknya dapat disikapi secara positif sebagai cara membangun kapasitas nasional berbasis teknologi untuk memampukan negara berkompetisi di tingkat global," katanya.
Pewarta: Hanni Sofia Soepardi
Editor: AA Ariwibowo
Copyright © ANTARA 2015