Bukan negara miskin yang memicu perubahan iklim, tapi negara maju."

Paris (ANTARA News) - Mentari belum lama terbenam ketika gerimis membasahi Kota Paris, Prancis, pada pertengahan Desember 2015. Suhu menunjukkan angka tiga derajat Celcius.

Namun, cuaca dingin itu tak membuat ribuan pengunjung beranjak dari kompleks Menara Eiffel (Eiffel Tower) di Kota Paris. Mereka terlihat bertahan untuk menyaksikan tampilan efek lampu dengan pesan-pesan penyelamatan bumi dari menara setinggi 324 meter itu.

Menara Eiffel atau dalam bahasa Prancis disebut Tour Eiffel merupakan sebuah menara besi rancangan arsitektur Gustave Eiffel yang dibangun di Champ de Mars di tepi Sungai Seine, Paris. Menara itu telah menjadi ikon global bagi Prancis dan menjadi salah satu struktur bangunan terkenal di dunia.

Selama penyelenggaraan Konferensi Para Pihak untuk Perubahan Iklim Dunia ke-21 (COP-21) di Le Bourget, menara yang sempat ditutup untuk umum akibat serangan di Kota Paris yang menewaskan seratusan orang pada 13 November 2015, tampil menjadi media pembawa pesan tentang perubahan iklim.

Sejumlah pesan yang muncul bergantian di menara yang dibangun pada 1889 itu, antara lain "1,5 degrees", "No Plan B", "Climate Change", "Climate Action", "Climate Sign" dan "Decarbonize".

"Sangat menarik, karena Eiffel sudah menjadi simbol Paris dan pesan-pesan ini mewakili suara masyarakat Prancis," kata Benyamin, warga setempat yang datang bersama pasangannya ke Eiffel pada malam terakhir COP-21 di Paris pada 12 Desember 2015.

Pesan yang ditampilkan di Menara Eiffel memang menjadi fokus dalam perundingan COP-21 di Paris, salah satunya "1,5 degrees" atau 1,5 derajat Celcius yang diserukan para aktivis lingkungan dan negara-negara kepulauan sebagai batas kenaikan suhu global.

Sebab, bila kenaikan suhu global melebihi angka tersebut, banyak pulau diperkirakan akan lenyap akibat kenaikan permukaan air laut.

Selain itu, decarbonize atau dekarbonisasi juga menjadi salah satu istilah populer yang disuarakan dengan lantang oleh para aktivis dan negara-negara rentan dan amat rawan (vulnerable) guna menghambat pemanasan global.

Hasan, seorang penjual souvenir di sekitar menara Eiffel, mengatakan bahwa dirinya bangga sebagai warga Kota Paris yang menjadi tuan rumah COP-21, dan berharap kesepakatan yang dihasilkan dari KTT Iklim itu baik untuk masa depan bumi.

"Bukan negara miskin yang memicu perubahan iklim, tapi negara maju," kata Hasan sambil melayani pembeli suvenir di tokonya.

Aksi iklim

Kompleks Menara Eiffel bisa dikatakan menjadi pusat lokasi aksi para aktivis lingkungan untuk menyuarakan aspirasi dan tuntutan kepada pemimpin 190 negara yang mengikuti KTT Iklim di Paris yang berlangsung pada 30 November hingga 12 Desember 2015.

Sejak konferensi dibuka pada 30 November, kompleks menara menjadi arena kampanye yang dijaga ketat aparat kepolisian dan tentara bersenjata Prancis.

Pada pekan pertama konferensi, ribuan aktivis lingkungan hidup mengatur tubuh mereka membentuk pesan harapan dan perdamaian di depan menara tersebut dengan satu seruan berbunyi "100% renewable" atau 100 persen energi terbarukan.

Para aktivis mendesak para pemimpin dunia yang hadir di COP-21 untuk menyepakati penghentian penggunaan bahan bakar fosil atau energi tak terbarukan.

Solusi bahan bakar untuk energi, industri dan transportasi menurut para aktivis adalah bahan bakar ramah lingkungan yang bersumber dari matahari, angin, air dan gelombang laut, sehingga pada 2050 dunia meninggalkan energi kotor atau 100 persen beralih ke energi terbarukan.

Seruan untuk beralih ke bahan bakar terbarukan itu bukan tanpa alasan. Penggunaan fosil baik batubara maupun minyak bumi merupakan penyumbang emisi terbesar dunia.

Buangan emisi berarti meningkatkan kadar karbon dioksida di atmosfer yang memicu perubahan iklim, termasuk pemanasan global.

Oleh karena itu, mereka menuntut hasil KTT Iklim ke-21 harus mengeluarkan keputusan untuk membatasi kenaikan suhut global di bawah dua derajat Celsius dengan menekan penggunaan sumber energi fosil.

Pada hari terakhir konferensi (12/12) atau molor sehari dari jadwal yang ditentukan, ribuan aktivis kembali turun ke pusat kota. Mereka mendesak para menteri menyetujui "Paris Agreement" dengan pesan global "Climate Justice Peace".

Direktur Eksekutif 350.org yang bergabung dalam Climate Action Network (CAN), Mei Boeve, menyebut jika negara-negara serius tentang menjaga pemanasan global di bawah 1,5 derajat Celcius, maka diperlukan komitmen kuat soal penurunan penggunaan bahan bakar fosil dan mengarahkan pada 100 persen energi terbarukan pada 2050.

Seruan para aktivis dan masyarakat dunia yang digaungkan dari menara Eiffel membuahkan hasil. Satu dari lima poin utama Kesepakatan Paris yang diputuskan pada 12 Desember 2015 adalah upaya mitigasi (mitigation) dengan upaya mengurangi emisi untuk mencapai ambang batas kenaikan suhu bumi yang disepakati yakni di bawah 2 derajat Celcius dan diupayakan ditekan hingga 1,5 derajat Celcius.

Poin kedua, terkait sistem penghitungan karbon dan pengurangan emisi secara transparan (transparancy), dan ketiga upaya adaptasi (adaptation) dengan memperkuat kemampuan negara-negara untuk mengatasi dampak perubahan iklim.

Poin keempat adalah kerugian dan kerusakan (loss and damage) dengan memperkuat upaya pemulihan akibat perubahan iklim, serta kelima adalah bantuan, termasuk pendanaan (fund finance) bagi negara-negara untuk membangun ekonomi hijau dan berkelanjutan.

"Ini saatnya semua orang di dunia bergandengan tangan," kata Direktur Kampanye Avaaz, Iain Keith, yang merupakan salah satu dari penyelenggara aksi perubahan iklim.

Oleh Helti Marini Sipayung
Editor: Priyambodo RH
Copyright © ANTARA 2015