Ekonom Mandiri Sekuritas Leo Rinaldy di Jakarta, Jumat mengatakan bahwa pasar keuangan dibayangi risiko kenaikan suku bunga bank sentral Amerika Serikat dan perlambatan ekonomi Tiongkok.
"Kondisi sekarang memang masih prematur untuk mencapai kesimpulan dampak dari langkah bank sentral AS yang menaikan suku bunganya. Meski demikian, volatilitas rupiah tetap terjaga," katanya.
Menurut dia, memang akan ada volatilitas pada pasar namun terbatas karena beberapa faktor, yakni kenaikan suku bunga AS selanjutnya pada tahun depan akan dieksekusi pada level yang rendah dan dilakukan secara gradual.
Kemudian, selisih suku bunga Bank Indonesia (BI rate) dengan AS akan masih sejalan dengan rerata pada 2010-2013, dengan berasumsi BI rate di level 7 persen dan suku bunga AS 1-1,25 persen tahun depan.
"Indonesia masih tetap menjadi negara yang paling atraktif di antara negara berkembang lainnya karena memiliki suku bunga tinggi," katanya.
Analis Riset Monex Investindo Futures Putu Agus mengatakan bahwa kenaikan suku bunga AS mendongkrak kinerja dolar terhadap mayoritas mata uang utama dunia. Situasi dapat menahan laju mata uang rupiah untuk kembali bergerak di area positif.
Di sisi lain, lanjut dia, harga minyak yang menurun kembali membuat pelaku pasar cemas sehingga berpotensi mengurangi minat investor untuk masuk ke aset-aset mata uang berisiko, termasuk rupiah.
Pewarta: Zubi Mahrofi
Editor: Unggul Tri Ratomo
Copyright © ANTARA 2015