Jakarta (ANTARA News) - Sejak pengaduan Menteri ESDM Sudirman Said hingga pengambilan keputusan Mahkamah Kehormatan Dewan terkait dengan PT Freeport adalah komoditas untuk tawar-menawar politik, kata pengamat dari Indonesian Institute for Development and Democracy (Inded) Arif Susanto.
"Belum ada niat, baik pemerintah maupun DPR, untuk menjadikan ini sebagai momentum pemberantasan korupsi dan optimalisasi pengelolaan sumber daya alam," kata Arif di Jakarta, Kamis.
Hal tersebut dia sampaikan dalam konferensi pers Koalisi Masyarakat Anti Mafia Parlemen tentang Putusan Mahkamah Kehormatan Dewan (MKD) atas Kasus Setya Novanto bertajuk "Sanksi Berat dan Mundur yang Terlambat".
Arif menyebutkan dari surat pengunduran diri dari Setya Novanto hanya terdapat satu hal yang positif, yaitu adanya tekanan publik.
"Jadi, memang DPR harus mendengar suara publik. Namun, bukan hanya masalah Setya Novanto yang mundur, melainkan juga harus didorong untuk mengungkapkan korupsi di bidang ESDM," kata Arif.
Ia juga berharap agar Prolegnas tidak dijadikan sebagai alat barter politik di antara para elite, termasuk revisi UU KPK dan RUU Pengampunan Pajak yang berpeluang melemahkan pemberantasan korupsi dan merugikan keuangan negara.
Sebelumnya, Setya Novanto menuliskan surat pengunduran dirinya sebagai Ketua DPR kepada pimpinan DPR.
Dalam surat itu disebutkan bahwa sehubungan dengan penanganan dugaan pelanggaran etika yang ditangani di DPR RI, untuk menjaga martabat dan untuk menciptakan ketenangan masyarakat, dengan ini saya mengundurkan diri dari Ketua DPR RI.
Surat yang ditandatanganinya di atas meterai tersebut ditembuskan kepada pimpinan MKD dan tertanggal 16 Desember 2015.
Pewarta: Benardy Ferdiansyah
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2015