Peneliti senior LSI Network, Adjie Alfaraby mengemukan hal itu kepada pers pada "Refleksi Akhir Tahun Analisis Survei Nasional" tentang kinerja DPR di Jakarta, Kamis.
Adjie mengatakan, rekomendasi kedua bahwa Pimpinan DPR yang baru nanti harus menghindari melakukan aneka lobi bisnis yang dapat membuat pelanggaran kewenangan selaku pimpinan DPR.
Rekomendasi ketiga, agar pimpinan DPR mengubah gaya kepemimpinannya sehingga lebih terkesan membela kepntingan publik dan rekomendasi keempat agar lebih bagus lagi jika DPR sebagai lembaga mengambil inisiatif "kocok ulang" pimpinan DPR.
Adjie menjelaskan, rekomendasi itu didasarkan hasil survei LSI pada 11-15 Desember 2015 dengan melakukan wawancara langsung atas 1.200 responden se-Indonesia dan menggunakan metode multistage random sampling. Margin error untuk survei tersebut sekitar 2,9 persen.
Hasil survei LSI pada 11-15 Desember tentang tingkat kepercayaan responden (publik) atas DPR bekerja untuk rakyat menyebutkan 3,6 persen publik sagat percaya, 36,4 persen cukup percaya, sedang 47,3 persen responden kurang percaya, 4,5 persen tidak percaya dan sisanya 8,2 persen tidak menjawab.
Dengan demikian, kata Adjie, hanya 40 persen publik yang percaya dengan kinerja DPR selama ini, sedang 51,8 persen tidak percaya dan 8,2 persen tidak menjawab.
Adjie menambahkan, tingkat kepercayaan publik atas DPR lebih rendah dibanding lembaga lain, yaitu MPR (55,9 persen), DPD (53,4 persen), Presiden (81,5 persen), BPK (57,8 persen), KPK (74,9 persen), MK (59,1 perse), MA (60,3 persen).
Adjie menjabarkan, ada empat alasan yang membuat publik menurun tingkat kepercayaan atas DPR, yaitu pertama, DPR dinilai tak produktif. Selama satu tahun bekerja, DPR hanya tiga UU berhasil diundangkan dari 39 target Prolegnas.
Kedua, pemberitaan negatif atas Ketua DPR Setya Novanto membuat publik semakin menururin tingkat kepercayaannya. Ketiga, selama setahun bekerja, publik hanya disuguhi berita-berita kontroversial oleh DPR, misalnya kasus freport, Donald Trump, dll.
Keempat, publik menilai Ketua DPR Setya Novanto sebagai "beban berat" bagi lembaga tersebut.
Pewarta: Ruslan Burhani
Editor: Kunto Wibisono
Copyright © ANTARA 2015