Oleh FX. Lilik Dwi M. Jakarta (ANTARA News) - Kemunculan Imlek tidak dapat dilepaskan dari akar sejarah masyarakat China. Perjalanan sejarah masyarakat Tirai Bambu dalam mengarungi ruang dan waktu memunculkan modifikasi-modifikasi kebudayaan tersendiri, terutama ketika proses pembauran antaretnis berlangsung. Berbicara tentang keberadaan mereka di Nusantara, tidak dapat dipungkiri bahwa republik ini lahir jauh setelah kedatangan etnis China. Laman Wikipedia menyebutkan, dokumentasi awal tentang kedatangan entis China ke Nusantara terdapat dalam penuturan agamawan Fa Hsien (abad ke-4) dan I Ching (abad ke-7). Dikisahkan, I Ching yang juga biarawan, datang ke India untuk mempelajari agama Buddha dan singgah dulu di Nusantara untuk belajar bahasa Sansekerta. Di Jawa ia berguru pada seseorang bernama J'anabhadra. Semasa perjalanannya, dia juga mengunjungi kerajaan Sriwijaya di Sumatra pada 671. Tulisannya mengenai Sriwijaya adalah salah satu dari sedikit sumber mengenai kerajaan tersebut. Ratusan tahun berlalu, dan kebudayaan China semakin berbaur dengan tatacara kehidupan komunitas yang lebih dulu menapakkan kaki di Nusantara Bahkan dalam hal tertentu, kebiasaan atau istilah tertentu yang sepertinya khas China, ternyata hanya ditemukan di Nusantara, tidak di daerah lain. Hal itu dikarenakan pertalian antar budaya etnis yang kuat sehingga menimbulkan cirikhas tersendiri. Laman yang sama menyebutkan kata Tionghoa adalah istilah yang dibuat sendiri oleh orang di Nusantara. Kata itu berasal dari kata "Cung Hwa", sebuah wacana yang muncul di Tiongkok sejak 1880. Karena keterbatasannya, orang Melayu ketika itu melafalkan Cung Hwa dengan Tionghoa. Sedangkan wacana "Cung Hwa" sendiri merupakan gerakan yang muncul di China sebagai reaksi untuk memiliki sebuah negeri yang lebih demokratis dan kuat. Hal itu didengar oleh etnis China yang tinggal di Hindia Belanda, hingga mereka tergugah untuk mendirikan sebuah perhimpunan bernama "Tjung Hwa Hwei Kwan" (THHK), dan diucapkan "Tiong Hoa Hwe Kwan" oleh lafal Melayu, yang berarti Perhimpunan Tionghoa. Selain penyebutan Tionghoa, pakar budaya Cina dari Universitas Indonesia (UI) Johanes Herlijanto mengatakan, kekhasan identitas China di Indonesia juga muncul dalam tradisi Imlek. Perayaan Imlek yang pada awalnya dimaknai sebagai rasa syukur masyarakat agraris Tiongkok karena telah lepas dari musim dingin dan memasuki musim semi yang baik untuk pertanian itu mengalami variasi yang luar biasa. Salah satunya adalah penggunaan angka pada setiap perayaan Imlek, seperti pada bulan Februari 2007 M dianggap masuk ke tahun Imlek 2558. Ciri seperti ini, menurut dia, tidak ditemui di Malaysia atau Singapura yang meyoritas penduduknya adalah etnis China. Kemunculan angka itu, katanya, sangat dipengaruhi oleh etika Konfusianisme yang melekat di masyarakat China. Hal itu mengakibatkan kelahiran pembawa faham itu, Kong Hu Cu, yang diperkirakan terjadi pada tahun 551 SM dijadikan patokan angka tahun Imlek. Padahal, apabila kembali ke makna Imlek sebagai rasa syukur akan datangnya tahun baru yang juga menandai awal musim semi, maka sistem penanggalan yang diterapkan oleh Dinasti Xia (2205-2197 SM) lebih coock dijadikan sebagai patokan tahun Imlek. Lintas etnis Terkait dengan perayaan Imlek di Indonesia, lebih lanjut Johanes Herlijanto yang juga staf pengajar Program Studi Cina Fakultas Ilmu Budaya UI mengatakan, perayaan Imlek tentu telah beradaptasi dengan tradisi masyarakat setempat. Imlek seakan berada dalam proses pergeseran dari pesta milik masyarakat China menjadi pesta milik bangsa Indonesia secara keseluruhan, tentunya dengan dipelopori oleh masyarakat Tionghoa di Indonesia. Proses "pen-Indonesiaan" ini setidaknya nampak dalam sejumlah praktik dan kebiasaan yang muncul hanya di Indonesia. Hal ini terlihat pada makanan yang dihidangkan saat Imlek, misalnya lontong Cap Go Meh. Makanan yang disajikan pada hari ke 15 yang merupakan penutupan rangkaian acara perayaan Imlek tersebut merupakan representasi pertautan lintas entis. "Lontong bukanlah makanan China, tapi jenis makanan Indonesia," katanya. Bahkan, dia mengidentifikasi komunikasi budaya dalam Lontong Cap Go Meh sebagai pertautan beberapa kebudayaan sekaligus. Hal itu ditunjukkan dalam keberadaan kuah semacam kari atau opor untuk lontong pada jenis makanan tersebut yang sangat mungkin akibat pengaruh India yang bercampur dengan tradisi lokal. Komunikasi lintas etnis juga muncul dalam tradisi barongsai yang bisa dimainkan kapan saja asal masih dalam rangkaian 15 hari perayaan Imlek dan acara gotong Toapekong yang hanya dilakukan pada hari ke 15 setelah Imlek, yaitu Cap Go Meh. Kedua tradisi itu, katanya selalu menyertakan kaum non-Tionghoa sebagai pemain. Sementara itu, acara itu sendiri juga dibuka menjadi tontonan, termasuk untuk masyarakat bukan Tionghoa. "Konon banyak dari mereka yang ikut serta menggotong secara sukarela karena ingin berpartisipasi dalam suka cita perayaan Imlek ini," kata Johanes. Kemudian, pawai Imlek yang muncul kembali sejak pergantian millennium yang lalu, katanya, selalu melibatkan unsur-unsur bukan Tionghoa. Unsur-unsur itu muncul dalam bentuk tarian-tarian dan atraksi lokal, seperti Ondel-ondel, Reog Ponorogo, Debus Banten, dan sebagainya. "Ini tidak terjadi di negeri lain," katanya sekaligus mencontohkan bahwa pawai Imlek di Malaysia hanya melibatkan masyarakat Cina. Dia kemudian mencontohkan keputusan masyarakat Tionghoa Jakarta untuk tidak mengadakan pesta pawai budaya pada 2005 ketika Tsunami melanda Indonesia dan beberapa negara Asia, merupakan contoh kongkrit semangat kebersamaan antarentis dalam suasana Imlek. Lintas agama Kebersamaan seluruh masyarakat Indonesia tidak hanya berhenti dalam tingkat etnis, namun juga agama. Hal itu terlihat dari apa yang dilakukan sejumlah gereja di Jakarta untuk ikut memeriahkan Imlek dengan menghias ruangan gereja dengan pernak-pernik bernuansa Cina serta melaksanakan misa khusus parayaan Imlek. Misa dengan suasana Imlek itu salah satunya dilakukan oleh umat di Paroki Taosebio, Glodok. Misa khusus itu dilaksanakan Minggu (18/2) pukul 09.00, bertepatan dengan perayaan Imlek. Tampilan bangunan yang berlokasi di kawasan pecinan itu lebih mirip sebuah kuil daripada gereja. Hal itu terlihat dari pernak-pernik yang mempercantik tata ruang. Tidak hanya itu, misa yang dirancang khusus untuk kaum Tionghoa beragama Katolik itu juga menggunakan bahasa Mandarin sebagai bahasa pengantar. Keselarasan antar keduanya, Imlek dan liturgi Katolik, terlihat dari penyesuaian yang dilakukan dalam tatacara misa, diantaranya dengan menyisipkan tradisi berbagi Angpao dan jeruk pada akhir ibadat. "Tradisi misa Imlek di Toasebio berlangsung setiap tahun," kata Pastor Kepala Paroki Toasebio, Pastor Yosef Bagnara. Selain Paroki Taosebio, misa serupa juga digelar di gereja Paroki Kemakmuran Bunda Hati Kudus, Jakarta Pusat, bertepatan dengan perayaan Imlek. Staf Sekretariat Paroki Kemakmuran Bunda Hati Kudus, Ernita, mengatakan kekhususan misa itu terletak pada dekorasi dan beberapa adat Tionghoa yang disisipkan dalam liturgi. "Namun demikian, secara garis besar liturgi tetap dengan tatacara Katolik," kata Ernita. Ornamen Imlek dalam dekorasi yang tidak seperti biasa akan memberikan suasana tersendiri bagi etnis Tionghoa yang mengikuti misa tersebut. Selain itu, umat Tionghoa juga merasa seperti "di rumah sendiri" ketika gereja juga menyertakan dekorasi berupa tiruan pohon yang digantungi ratusan "amplop merah", khas budaya Cina. Kemudian, harmonisasi antara Imlek dan liturgi Katolik juga dirasakan di gereja Paroki Mangga Besar dan Paroki Santo Bartolomeus (Sanbarto) Bekasi Selatan. Bahkan, pengurus gereja Paroki Sanbarto menyiapkan amplop merah (angpao) yang berisi pembatas buku firman Tuhan serta jeruk untuk dibagikan kepada umat usai misa. Kebersamaan semua masyarakat Indonesia dari berbagai etnis dan agama dalam merayakan Imlek itu mendorong Johanes Herlijanto memaknai Imlek sebagai tradisi yang berciri multikultural. Kesatuan dalam Imlek itu mengandung pesan bahwa etnis Tionghoa dan non-Tionghoa adalah masyarakat yang terbuka dan mau berjalan beriringan dalam proses komunikasi budaya. Sedangkan sentimen anti Tionghoa yang selam ini muncul hanyalah riak yang bergelombang akibat kepentingan golongan tertentu, terutama elit politik. "Sikap anti Tionghoa itu justru bermula dari tingkat elit yang biasanya akan berpengaruh ke bawah," katanya seraya mengingatkan bahwa resistensi terhadap Tionghoa sudah hilang sejak tumbangnya Orde Baru, sehingga Indonesia memasuki era kebersamaan.(*)
Editor: Suryanto
Copyright © ANTARA 2007