Jakarta (ANTARA News) - Sejarawan Asvi Warman Adam berpendapat belum ada peneliti Indonesia lain yang meneruskan peran Benedict Anderson, seorang pengkaji Asia Tenggara terkemuka yang wafat di Batu, Malang, Jawa Timur, Sabtu (12/12).

"Agak sulit (penggantinya). Kelebihan Benedict Anderson adalah sangat fasih berbahasa asing dan itu modal untuk meneliti yang tidak terbatas pada satu negara," ujar Asvi saat dihubungi di Jakarta, Senin.

Asvi mengatakan Ben Anderson adalah seorang Indonesianis yang bidang risetnya sangat luas. Menurut sejarawan LIPI itu, salah satu karya Anderson paling menonjol adalah "Cornell Paper" yang ditulis bersama Ruth Mcvey dan Frederick Burnell.

Publikasi ilmiah itu merupakan tanggapan dari buku 40 Hari Kegagalan "G30S" yang ditulis sejarawan Indonesia atas prakarsa Jenderal Nasution. Dalam buku tersebut, PKI disebut sebagai dalang dari Gerakan 30 September. Namun, publikasi ilmiah "Cornell Paper" menyatakan teori bahwa kudeta tersebut disebabkan masalah internal dalam Angkatan Darat.

"Cornell Paper" yang diterbitkan pada 1971 menimbulkan rasa tidak senang dari Pemerintah Indonesia saat itu. Anderson dilarang masuk ke Indonesia.


Anderson juga pernah menulis di dalam Jurnal Indonesia mengenai hasil visum enam jenderal yang tewas pada G30S. Dalam tulisannya, Anderson membantah bahwa ada penyiletan kemaluan dan pencungkilan mata yang selama ini dipercayai terjadi pada jenazah-jenazah tersebut.


Tulisan Anderson berdasarkan hasil visum et repertum jenazah enam jenderal yang jadi korban G30S yang tidak sengaja dibacanya dari arsip persidangan Mahkamah Militer Luar Biasa (Mahmilub) yang dibawa Nugroho Notosusanto dan Letkol Ismail Saleh ke AS.


Keduanya dikirim oleh Mayjen Soewarto, Komandan Seskoad, untuk membuat buku yang menandingi "Cornell Paper".


"Itu tulisan kedua yang membuat (pemerintah Indonesia) marah," kata Aswi.


Pada 1999, barulah dia diperbolehkan masuk ke Indonesia. "Dia dideportasi tahun 1972, baru berhasil masuk 27 tahun kemudian saat Habibie jadi presiden," ujar Aswi.

Menurut Aswi, Anderson membayangkan kondisi tersebut seperti pengasingan Tan Malaka yang sempat diusir dan akhirnya kembali lagi ke Indonesia tahun 1942.


Sejak dideportasi dari Indonesia, Anderson mencoba melakukan penelitian di tempat lain, yakni Filipina dan Thailand. Dia menguasai bahasa-bahasa setempat dan berhasil melakukan penelitian mendalam.


"Dia bisa bikin perbandingan tiga negara itu, Indonesia, Thailand dan Filipina, tapi semuanya dimungkinkan karena dia ditolak masuk Indonesia selama 27 tahun," ujar Asvi.


Nyaris tiga dekade setelah larangan masuk Indonesia dicabut, Anderson kembali menulis tentang G30S. Saat itu, dia mewawancarai para tahanan politik, termasuk Sersan Mayor Boengkoes, prajurit Tjakrabirawa yang bertugas menculik salah satu jenderal.


"Wawancaranya panjang, itu tulisan terakhir tentang G30S yang memperlihatkan kepiawaian Benedict Anderson mengungkap hal baru," kata dia.

Pewarta: Nanien Yuniar
Editor: Ruslan Burhani
Copyright © ANTARA 2015